Mohon tunggu...
Nur Hasanah
Nur Hasanah Mohon Tunggu... Editor - Peminat sastra

Peminat sastra

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sebotol Parfum dan Sejumput Nilai

12 Maret 2015   03:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:47 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antara September dan Oktober 2012, di suatu petang saya menaiki tangga dan di ujungnya mendapati seorang perempuan muda sedang menjemur pakaian, tepat di depan kamar saya. Jadi saya punya teman kosan baru setelah sekian bulan tinggal sendiri di lantai dua kosan saya. Dia, perempuan muda itu, cantik, berkulit putih, dengan senyum yang selalu tersungging, dan ramah. Dia bilang dia baru balik dari Singapura. Seorang TKW. Ya, dia mengucapkannya tanpa canggung. Seorang yang percaya diri sejati.

Sejak itulah dia, ah sebut saja namanya "Nina", menjadi sahabat saya. Sahabat? Ya, sementara suaminya tak ada di kosan, dia rajin bertandang ke kamar kosan saya. Saya yang kebetulan sedang jadi penganggur karena perusahaan kaecil tempat saya bekerja waktu itu kolaps, punya waktu banyak untuk haha hihi dan menampung cerita-cerita perempuan usia 22 tahun itu. Sepearti kaum ekstrovert lainnya, dengan mudahnya dia mengeluarkan unek-uneknya, bahkan yang paling pribadi sekalipun. Sejarah kehidupannya mungkin ludes sudah diceritakannya kepada saya.

Lahir dalam sebuah keluarga sederhana di Jawa Timur, kesupelannya ketika bertemu saya sama sekali tak meninggalkan kesan bahwa dia seorang rendah diri. Ah, saya jadi bingung menyimpulkan dia itu seorang yang percaya diri atau malah rendah diri lantaran cerita perjodohannya di masa lalu. Dengan seorang lelaki dari keluarga kaya Nina pernah dijodohkan. Ketika dibawa masuk ke rumah megah orang tua si lelaki, Nina justru takut, ketakutan khas seorang miskin bertandang ke rumah orang kaya. Bahkan melihat rumahnya dari jauh pun Nina sudah merasa takut. Alhasil, dia tak mau menikah dengan pemuda dari keluarga berada tersebut.

Namun, barangkali berangkat dari ketakutan kepada si kaya itulah Nina bertekad untuk tidak lagi menjadi miskin dan merasa memiliki harga diri. Dan berangkatlah dia ke Singapura menjadi TKW. Dengan gaji antara 3 hingga 4 juta rupiah per bulan selama dua tahun, seharusnya dia memiliki banyak uang ketika pulang ke Indonesia. Tapi toh dia harus merelakan tujuh bulan gajinya dipotong oleh agen TKW karena dia berangkat ke Singapura tanpa membayar tiket pesawat dan sebagainya. Ketika pulang ke Indonesia pun dia harus membayar kepada "preman bandara" sebesar Rp 700.000,00 dengan perasaan nelangsa, nelangsa khas seorang rakyat kecil yang tahu dirinya di-dzalimi tapi merasa tak bisa berbuat apa-apa.

Namun, saya tahu di balik ketidakberdayaannya, Nina adalah seorang yang kuat, yang tak ingin dirinya dilecehkan. Seorang anak majikannya sering menghina Nina yang miskin dan membangga-banggakan diri si anak sendiri yang kaya. Nina menjawabnya dengan ketus, "I don't care." Dia sungguh jauh dari kesan lemah dan berharap dikasihani. Saya sungguh salut kepadanya.

Posisi sebagai seorang istri tidak mengurangi tekad Nina untuk memiliki penghasilan sendiri. Di antara keluarga suaminya pun dia merasa terus dibayang-bayangi ketakutan dicibir karena kemiskinannya. Kepada saya lalu Nina berbagi rahasia bahwa dia menyimpan sebagian uangnya tanpa diketahui suaminya.

Bersama Nina, dua bulan masa menganggur saya terasa tidak begitu menjenuhkan. Dia selalu main ke kamar saya untuk berbagi cerita lalu meminta saya memutarkan film yang ada di laptop saya. Suatu hari dia dan suaminya pulang ke Jawa, ke rumah orang tua suaminya. Saya pun dalam keadaan siap berpindah kosan yang dekat dengan kantor baru saya. Sebelum meninggalkan kosan, Nina mewariskan sebuah ember kecil, kain lap, dan entah barang apa lagi yang tidak muat untuk diangkut dengan kopornya.

Setelah beberapa jam berangkat pulang ke Jawa, Nina meminta tolong kepada saya lewat SMS untuk mengamankan parfum suaminya yang ketinggalan. Suaminya marah-marah kepada Nina karena parfum itu ketinggalan. Saya pun dimintai Nina untuk mengirimkannya lewat paket. Saya membawanya ke JNE, tapi JNE menolaknya karena parfum termasuk barang yang dilarang dipaketkan karena mengancam keamanan pengiriman dengan pesawat. Nina lalu meminta saya mengirimnya lewat pos dan tidak menyebutnya itu parfum. Tapi saya ini orang yang tidak tega dan tidak pintar berbohong. Ketika petugas pos bertanya kepada saya sambil menatap mata saya, rasanya saya tidak bisa berkutik. Gagallah usaha saya mengirimkannya lewat paket.

Nina mengeluhkan kegagalan saya. Ah, dia bahkan tak pernah mengucapkan kata "tolong" kepada saya untuk mengirimkan parfumnya. Saya seperti diperintah olehnya. Saya jadi kesal dan lebih kesal lagi ketika Nina meminta saya membayari parfumnya Rp 25.000,00 pun tanpa embel-embel meminta tolong. What? Kekesalan saya bertambah-tambah, merasa dia sangat tidak sopan kepada saya, sewenang-wenang kepada saya. Sudah dia menyuruh-nyuruh saya mengirimkan paket kepadanya plus meminta saya berbohong kepada JNE dan Pos, sekarang dia minta saya membayari pafrumnya. Ogah! Saya merasa harga diri saya dilecehkan. Lagian saya juga tidak butuh parfum itu. Di antara kedongkolan saya, saya usulkan agar kakaknya yang tinggal di Jakarta mengambil saja parfum itu ke kosan saya. Tapi Nina bilang kakaknya tidak akan mau jauh-jauh pergi hanya untuk sebotol parfum.

Persoalan parfum pun terbengkalai dan parfumnya terus teronggok di lemari baju saya, menguarkan aromanya setiap saya membuka lemari. Sementara itu, Nina tetap bercerita kepada saya tentang kehidupannya lewat SMS atau telepon. Tidak lama setelah pulang ke Jawa, dia memang masuk karantina untuk persiapan berangkat ke Hongkong. Di antara kesibukannya belajar bahasa Kanton dan belajar hal-hal lainnya di tempat karantina itu dia terus menjadikan saya sebagai sahabatnya sampai akhirnya dia berangkat ke Hongkong komunikasi kami terputus sama sekali. Dan saya, melanjutkan hidup saya seperti biasa, seperti tak ada yang hilang dalam kehidupan saya.

Namun, pada suatu malam, setahun atau dua tahun kemudian, ketika berbaring menjelang tidur, tiba-tiba saya teringat Nina. Dan entah bagaimana, tiba-tiba saya tersadarkan bahwa saya sudah bersikap jahat kepada Nina. Apa sulitnya bagi saya membeli parfum itu hanya dengan Rp 25.000,00 walau tidak membutuhkannya? Ah, Rp 25.000,00 itu bukan jumlah yang banyak. Saya bahkan bisa memberikannya kepada Nina secara cuma-cuma, tanpa perlu ditukarkan dengan parfum. Apa sulitnya? Tak sulit. Yang sulit itu ternyata melunturkan ego saya yang merasa telah diperintah-perintah sehingga menghilangkan welas asih dalam diri saya. Padahal saya mendengar langsung dari Nina bagaimana perjuangannya mencari uang di negeri orang, menghadapi perlakuan tak hormat dari anak majikannya. Ah, sungguh saya keterlaluan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun