Pemuda 26 tahun itu bernama Alif Fikri. Setengah bola bumi telah ditapakinya berkat beasiswa. Gelar sarjana pun telah diraihnya. Perusahaan mana hendak tolak dia? Begitu pikirnya. Namun, krisis moneter 1998 tak berpihak pada kesombongannya. Setelah ditolak banyak perusahaan, memang ia akhirnya direkrut sebuah media nasional. Di media itulah ia belajar tentang jurnalistik dan jatuh cinta kepada seorang gadis bernama Dinara. Meski begitu, ia tidak puas pada penghasilannya dan mulai bosan pada rutinitasnya. Lalu, ia berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa Fulbright.
Dengan beasiswa Fulbright, Alif terbang ke Amerika. Ia berhasil pula menikahi Dinara. Berdua mereka hidup di negeri orang, merasakan hidup susah karena ekonomi, namun akhirnya berpenghasilan melimpah sebagai jurnalis media setempat. Di tengah sensasi menikmati hidup itulah Dinara melontarkan keinginan agar mereka berdua pulang selamanya ke Indonesia. Keinginan Dinara tersebut menciptakan konflik batin bagi Alif. Bagi Alif, hidup di Amerika jauh lebih menyenangkan. Mengapa harus hidup selamanya di Indonesia? Dengan berbagai pertimbangan, mereka pun akhirnya pulang selamanya ke Indonesia dan mengabdikan diri untuk Indonesia tercinta.
Memoar Berbalut Fiksi
Satu lagi memoar berbalut fiksi hadir ke tengah pembaca Indonesia, Rantau 1 Muara, buku terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara. Sebagaimana dua buku sebelumnya—Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna—, mungkin Rantau 1 Muara akan segera menyusul bergelar best seller. Pembaca sastra Indonesia tampaknya memang sedang tergila-gila pada kisah kesuksesan yang dituangkan penulisnya dalam bentuk novel. Kita tahu bagaimana fenomenalnya Laskar Pelangi. Tak hanya fenomenal dari sisi penjualan, tetapi juga pengaruhnya dalam mengobarkan semangat untuk menjadi orang berprestasi. Dengan formula yang sama, hadir pula 9 Summers 10 Autumns.
Tak berhenti sebagai novel best seller, Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, dan 9 Summers 10 Autumns pun mereguk sukses lewat film layar lebar. Beramai-ramai publik mendulang inspirasi dari ketiga novel dan film tersebut. Tentu kita perlu mengapresiasi ketiganya sebagai bagian upaya meningkatkan kualitas generasi muda.
Lalu, tepatnya apa inspirasi yang bisa diserap pembaca dari Rantau 1 Muara? Novel ini menunjukkan kepada Anda bahwa untuk memperoleh hasil di atas rata-rata, usaha yang harus dilakukan pun harus di atas rata-rata. Dan, jika Anda tergiur pada uang, pikirkanlah kembali karena mungkin di dunia ini ada yang lebih bernilai daripada uang. Akhirnya, ketika semua keinginan Anda sudah tergenggam dan selama itu Anda belum bisa mengalihkan perhatian kepada hal di luar diri Anda, kepada siapa Anda kemudian mengabdi, menunjukkan cinta sebagai sesama manusia? Jawabannya ada dalam novel ini. Semua itu bermula dari satu hal—bertanya kepada diri sendiri tentang apa keinginan dan tujuan hidup Anda.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah pintu gerbang yang bisa membuat pembaca mengurungkan niat untuk melakukan kegiatan lain demi terus membaca halaman demi halaman novel atau malah melemparkan sebuah novel sebelum habis halaman pertama dibaca. Jika berekspektasi bahwa Rantu 1 Muara adalah novel ringan, Anda mungkin akan terkejut karena deskripsi, diksi, dan majas yang mengisi novel ini ternyata cukup memikat, misalnya Bohlam usang itu mengerjap-ngerjap beberapa kali seperti baru siuman dan lalu bersinar malas-malasan, bagai protes minta diganti (hlm. 1). Tiga di antara majas-majas yang juga menarik adalah Kertas dari Dinara masih aku genggam. Rasanya seperti sedang menggenggam secarik peta harta karun; Tapi aku tidak akan merengek pada air, pada angin, dan pada tanah; Getir dan senang, keduanya telah melengkapi racikan hidup ini.
Sesuai dengan latar budaya cerita dalam novel ini, kata-kata dari bahasa Sunda dan Minang sesekali menghiasi novel ini. Sayangnya, tidak ada terjemahan dalam bahasa Indonesia yang tentunya penting untuk orang yang sama sekali buta akan kedua bahasa tersebut. Diksi yang jarang dipakai pun tersaji dalam novel ini, misalnya mengacau (digunakan dalam bahasa Malaysia) dengan pengertian ‘mengaduk’ dan jeri.
Tokoh
Tidak seperti novel yang mengusung tokoh inspiratif tanpa cela, Rantau 1 Muara menghadirkan tokoh yang terkesan “manusiawi” karena selain punya kekurangan, mereka pun punya kelebihan. Alif, sang tokoh utama, selain digambarkan sebagai sosok yang ulet, optimis, cerdas, saleh, dan sangat memperhatikan keluarganya, ia pun kadang-kadang sombong (dalam bentuk kebanggaan pada diri sendiri) meskipun hanya dalam hati dan sesekali meremehkan orang lain (hlm. 142).