Mohon tunggu...
Nur Hasanah
Nur Hasanah Mohon Tunggu... Editor - Peminat sastra

Peminat sastra

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Memecahkan Misteri Buku "Best-Seller"

1 Agustus 2016   15:16 Diperbarui: 1 Agustus 2016   18:37 9061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Seorang gadis sedang membaca buku di Toko Buku Gramedia. (Tribunjateng)

Siapa yang tidak ingin menulis buku yang kelak menjadi buku best-seller? Atau, penerbit mana yang tidak ingin menerbitkan (calon) buku best-seller? Ajaib kalau ada penulis atau penerbit yang mengangkat tangan setelah mendengar pertanyaan itu. Pada umumnya, buku best-seller menjadi impian penulis dan penerbit. Penulis merasa bahagia karena karyanya dibaca oleh puluhan atau ratusan ribu bahkan jutaan orang dan namanya—meskipun tidak selalu—turut diperhitungkan sebagai penulis papan atas. Kebahagiaan itu kemungkinan besar akan bertambah seiring derasnya aliran royalti ke kantong penulis. Penerbit tidak kalah semringahnya karena saldo laba perusahaan terus meningkat dan namanya (semakin) terdongkrak sebagai penerbit yang layak dilirik oleh penulis ternama.

Ya, buku best-seller itu impian. Tapi bagaimana cara mewujudkan impian itu? Dalam sebuah forum di dunia maya, seseorang berpendapat bahwa buku best-seller itu misteri. Kenapa? Karena kualitas konten buku tidak selalu berbanding lurus dengan angka penjualan. Jadi, sambungnya, tidak ada rumus untuk membuat buku best-seller. Hm, benarkah demikian? Bukankah misteri bisa dipecahkan? Inilah catatan untuk penerbit.

Mengapa Buku Menjadi Best-Seller?

  • Best-Content

Apakah buku best-seller selalu berarti best-content? Tentu harus begitu. Sebagai contoh, sebagian novel best-seller yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa adalah novel-novel yang menakjubkan dan dipuji oleh kritikus-kritikus sastra dunia. Sebut saja contohnya The Alchemist, The Curious Incident of the Dogin the Night-Time, Perfume, To Kill A Mockingbird, dan The Kite Runner. Dalam genre nonfiksi sebut saja The Art of Loving karya Erich Fromm, The Black Swan: The Impactof Highly Improbable, dan The Secret.

Namun, tidak sedikit pula buku best-seller yang tidak best-content. Tentu Anda tahu novel Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Keduanya termasuk novel fenomenal karena luar biasa best-seller. Betapa larisnya kedua novel itu yang berarti betapa banyak orang yang suka pada kedua novel itu. Tapi apa kata (seorang/sebagian) kritikus sastra soal kedua novel itu? Ayat-Ayat Cinta dianggap sebagai novel populer. Sementara itu, Laskar Pelangi dianggap sebagai karya yang ditulis dengan bakat alam sastranya, tetapi tanpa intelektualitas sastra. Ya, demikianlah kata pakar sastra. Tapi, berapa banyak orang yang tahu atau peduli akan pendapat para pakar? Terserah lu mau bilangapa! Kalo menurut gue enak dibacaya gue suka. Barangkali begitu orang banyak berucap.

Penentu best-seller-nya buku sudah jelas: angka penjualan! Itu artinya, pembelilah penentunya. Lalu, siapakah penentu kualitas konten buku? Para pakar memang bisa dijadikan rujukan, tetapi hanya pembaca itu sendiri yang bisa menentukan kualitas konten suatu buku, setidaknya menurut standar pribadi. Terkadang pembeli malah tidak mempedulikan kualitas konten. Bisa jadi mereka membeli buku karena penulisnya adalah teman dekatnya atau tetangganya, karena layout-nya atau kovernya bagus, atau karena-karena lainnya. Namun, dengan "mengambil" naskah dengan best-content, penerbit punya lebih banyak peluang untuk menjadikannya buku best-seller.

  • Kontroversial

Buku yang kontroversial kemungkinan besar akan menjadi buku best-seller. Alasannya sederhana saja: buku itu mengundang perhatian, setidaknya bagi dua pihak atau lebih yang berkeberatan dan mendukung isi buku itu. Karena mengundang perhatian, buku itu sering dibicarakan, diperdebatkan.

Kalau Anda penggemar novel, mustahil jika Anda tidak tahu novel Saman. Penerbit Saman terheran-heran karena novel seserius itu bisa laris-manis seperti kacang goreng (sebenarnya saya tidak suka menggunakan perumpaan yang kelewat populer ini). Jadi, adalah hal yang mengherankan kalau novel serius dan berkualitas bisa menjadi novel best-seller (tentu saja dalam konteks Indonesia). Hm, barangkali itu berarti masyarakat Indonesia sudah naik kelas? Mari kita pertimbangkan faktor lainnya.

Saman adalah pemenang Sayembara Novel DKJ tahun 1998. Dengan begitu, Saman diperbincangkan di kalangan pecinta sastra. Jelas, itu poin penting menuju best-seller. Yang mencengangkan, Saman menarik perhatian publik di luar kalangan pecinta sastra atau kalangan yang belum melek sastra. Salah satu penyebabnya adalah kevulgaran novel itu dalam mengupas seksualitas sehingga menimbulkan kontroversi. Wow, betapa hebat dampaknya. Itu yang saya rasakan setelah membaca artikel di suatu blog. Dalam blog itu, para komentator langsung menyatakan ketertarikannya untuk membeli Saman setelah diiming-imingi beberapa kalimat terakhir dalam halaman-halaman terakhir Saman.

Nasib The Girls of Riyadh saya kira tidak berbeda dengan Saman. Walaupun dilarang beredar di negerinya sendiri, Arab Saudi, novel itu diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Memang, buku yang kontroversial sering kali membahayakan penulisnya. Tapi, itu pula yang menjadikan penulisnya berpeluang menerima lebih banyak royalti daripada peluang penulis yang bukunya tidak kontroversial.

  • Sesuai Tren

Tren selalu ada dan berubah-ubah. Sekitar sedekade yang lalu, teenlit berjaya. Buku-buku agama konon menjadi selebritas pada bulan puasa. Novel-novel fantasi pun bermunculan setelah suksesnya Harry Potter. Pada masanya pun novel-novel berbau terorisme diincar pembaca seiring dengan maraknya aksi terorisme. Memang, tren bersifat sementara. Tapi bukanlah dunia juga bersifat sementara? Jadi, mengapa penerbit tidak memanfaatkan tren buku?

Bagaimana Mem-best-seller-kan Buku?

  • Menggandeng Penulis Ternama

Buku yang ditulis oleh penulis yang namanya sudah diakui dalam jagat perbukuan memang memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi buku best-seller. Namun, tentu tidak mudah bagi penerbit yang muda dan belum banyak berpengalaman yang artinya namanya belum berkibar untuk menggaet penulis ternama. Keberhasilan editor akuisisi untuk melobi sang penulis ternama bisa menjadi anugerah sendiri untuk jenjang kariernya di dunia penerbitan. Tentu saja nama baik penerbit dalam menunaikan royalti dan menghargai karya-karya penulisnya menjadi poin penting untuk diperhatikan oleh penulis sebelum menawarkan naskahnya. Poin itulah yang saya dapat di antara poin-poin lainnya dalam tips memilih penerbit.

  • Dekati Pemenang Lomba

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun