Malam senyap. Tarno menatap wajah kedua mertuanya, kakak iparnya, adik iparnya, dan seorang tetangganya. Mereka tergolek di atas kasur-kasur yang digelar di atas lantai. Ibu mertuanya, satu-satunya perempuan yang tergolek di kasur itu, tidak berani tidur sendirian di kamarnya. Padahal letak kamarnya di ruangan itu pula.
Harusnya kakak iparnya menemaninya berjaga. Tapi tahu-tahu Tarno melihatnya tertidur. Memang, hanya kelelahan luar biasa yang dapat menidurkan mereka. Tapi ia sendiri tidur hanya dua tiga jam dalam sehari. Setelah tiga malam sejak peristiwa itu. Peristiwa yang tiba-tiba menyentak hidupnya.
Bunyi detak jam dinding menekan-nekan jantung Tarno. Di depannya, di atas amben, istrinya, Sumi, terbaring. Ah, Tarno tahu ia bukan Sumi. Sumi tidak memiliki kebiasaan menggerak-gerakkan kaki ketika tidur atau duduk, menggaruk-garuk kepalanya seperti orang berkutu, dan menggosok-gosok telapak tangannya dengan jari-jarinya. Tawanya pun tidak mengerikan seperti tawanya sekarang. Tapi ia berusaha menampakkan diri seperti Sumi.
Tarno menyandarkan punggungnya pada dinding setelah sadar sedari tadi tubuhnya tegang. Tatapannya jatuh ke lantai. Takberani ia memandang ke segala sisi ruang, apalagi mata perempuan di atas amben. Itu jelas bukan sorot mata Sumi. Sumi entah sedang ke mana.
Terakhir kalinya ia berbincang dengan Sumi tiga hari yang lalu. Ketika itu pukul sebelas malam. Keluarganya sudah terlelap dan Tarno diajak ke loteng. Sumi membuka pintu satu-satunya kamar di situ. Tarno lihat di dalamnya ada kursi di depan meja bertaplak kain putih. Di atas meja itu terjejer buku-buku bertulisan Arab dan sebuah pigura berfoto Kyai Mustofa, guru ngaji yang sering dibangga-banggakan Sumi. Di depan meja itu tergelar tikar.
“Mas, cuma aku yang boleh masuk kamar ini. Mas Tarno dan yang lainnya tidak boleh. Terus…, jangan memotong dulu, Mas. Terus aku mau bikin pintu besi buat kamar ini.”
“Buat apa, Sum?” Tarno mengerutkan kening.
“Begitu kata bisikan.”
“Bisikan? Bisikan siapa?”
Sumi diam sejenak. “Oh, kata bisikan, aku boleh cerita. Begini, Mas. Sejak aku rajin tahajud, sembahyang duha, wirid, dan ibadah macam-macam, aku bisa dengar bisikan-bisikan. Awal-awalnya aku biarkan saja, tapi lama-lama aku tahu bisikan itu benar. Pas Mas Tarno pulang dari masjid, terus ngesun pipiku dua minggu yang lalu itu, Mas ingat tidak, itu aku sudah diberi tahu bakal begitu. Ya aku ikuti terus bisikan itu, Mas. Itu kenapa tiba-tiba aku dapat arisan. Sekarang bisikan itu bilang aku bakal dapat duit seratus juta, Mas. Coba, Mas, kita bisa naik haji tahun ini. Tapi syaratnya, aku harus bikin pintu besi buat kamar ini. Jadi, Mas, di kamar ini aku bakal ketemu Kanjeng Nabi….”
Tubuh Tarno gemetar. “Sum, Kanjeng Nabi itu, kalaupun bisa ditemui, cuma lewat mimpi.”