Saya mengalami harga bensin lima ratus rupiah. Itu yang terlintas dalam pikiran saya kemarin ketika melintasi SPBU Pertamina dan melihat deretan harga pada totemnya. Inflasi seperti suratan alam saja. Ah, lagi lima ratus rupiah itu harga bensin 1990-an. Wajar. Tak ada yang perlu didramatisasi.
Harga hanya satu sisi dalam transformasi BBM. Di sisi lain, jenisnya bertambah. Dulu, bensin ya cuma ada satu jenis. Selain itu, ada solar dan oli. Sekarang, bensin saja ada Premium, Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamax Racing, disesuaikan dengan perkembangan mesin kendaraan. Makin canggih mesin kendaraannya, semakin canggih dan mahal pula BBM-nya.
Premium menduduki posisi paling bawah dari segi kualitas, yakni dengan RON 88, hanya cocok untuk mesin kendaraan lawas. Jika dipaksakan digunakan pada kendaraan keluaran baru, Premium justru berdampak pada umur mesin kendaraan yang menjadi lebih pendek. Jika bingung yang mana BBM yang sebaiknya digunakan untuk kendaraan, Anda bisa membuka buku panduan kendaraan Anda. Dalam buku tersebut disebutkan BBM RON berapa untuk kendaraan Anda.
Idealnya, untuk kendaraan baru, pengendara memilih Pertamax, yang memang sesuai untuk mesinnya. BBM dengan RON 92 ini berbeda dengan Premium dalam hal zat aditif. Pertamax mengandung zat aditif yang melindungi mesin kendaraan, yakni bisa memisahkan bahan bakar dan air, membersihkan mesin, dan mencegah karat pada mesin. Kok bisa ada air dalam BBM? Air ini memang ada secara natural, faktor alam, bukan karena dalam BBM ditambahkan air. Selain itu, Pertamax juga ramah lingkungan.
Pada 1990-an saya dekat dengan dunia BBM. Waktu itu salah satu usaha orang tua saya adalah jual bensin eceran. Saya dan saudara-saudara saya didaulat untuk melayani pembeli. Meskipun pada waktu itu kendaraan bermotor di daerah saya---Tegal---belum banyak, jumlah SPBU-nya juga bisa dihitung dengan jari. Jadilah usaha bensin eceran cukup menguntungkan. Biasanya, orang suruhan ayah saya kulakan BBM di SPBU yang jaraknya puluhan kilometer.
SPBU waktu itu identik dengan bensin murni, tanpa campuran. Pasalnya, banyak pedagang bensin eceran yang mencampur bensin dengan minyak tanah---tidak termasuk orang tua saya lho ya. Orang pun cenderung tenang mengisi BBM di SPBU. Sekarang, sesekali terdengar kabar kecurangan SPBU. Tidak lama berselang, viral soal SPBU yang tangki Pertamax-nya diisi Pertalite. Entah benar atau tidak, semoga Pertamina menindak tegas SPBU-SPBU yang curang.
Dulu, ayah saya sekali kulakan delapan jeriken. Tidak ada batasan dari SPBU. Namun, entah sejak kapan, pedagang bensin eceran dianggap melanggar undang-undang karena mendistribusikan BBM tanpa izin. Pertamina mungkin lupa bahwa tidak semua daerah seperti Jakarta---berlimpah SPBU-nya. Bahkan ada daerah-daerah yang jarak antar-SPBU sampai puluhan kilometer sehingga sangat memungkinkan kendaraan kehabisan BBM dalam rentang jarak tersebut. Pedagang bensin eceran tentu berbeda dengan penyelundup BBM. Dengan demikian, barangkali perlu diberi perlakuan yang berbeda pula dalam undang-undang.
Yang menggembirakan adalah sekarang BBM satu harga sudah bisa dinikmati di beberapa titik di Papua dan beberapa daerah lainnya. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan yang adil sebenarnya bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Persoalannya hanya tinggal hitung-hitungan di atas kertas. Semoga BBM satu harga ini segera tersebar di titik-titik lainnya.
Tak cukup itu, daerah-daerah yang masih jarang SPBU-nya sebagaimana saya ilustrasikan di atas, semoga segera dipertimbangkan untuk dibangun SPBU-SPBU. Tentunya ada pertimbangan keekonomian dalam membangun SPBU. Namun, pasti ada hitung-hitungan di atas kertas yang juga bisa menyelesaikannya, entah dengan subsidi silang atau strategi yang lain.Â
Mengacu pada kualitas BBM-nya, Pertamina boleh tergiur untuk berekspansi menjual BBM ke negara lain---seperti yang telah sukses dilakukan terhadap Pertamax Racing yang digunakan untuk ajang balapan tingkat dunia---, dan menjajaki negara tetangga, seperti yang juga dilakukan perusahaan minyak negara tetangga di negeri kita. Tentunya kita bangga bila melancong ke negeri tetangga dan mendapati SPBU Pertamina di sana. Namun, kembali ke kebijakan yang adil, jangan lupa untuk terus memperhatikan daerah-daerah yang belum terjamah jumlah SPBU yang cukup.