Mohon tunggu...
Nur Hasanah
Nur Hasanah Mohon Tunggu... Editor - Peminat sastra

Peminat sastra

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Membaca Sejarah Bangsa Lewat "Anak-anak Revolusi"

24 Agustus 2014   20:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:41 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_354883" align="aligncenter" width="576" caption="Maman Suherman (paling kanan), Budiman Sudjatmiko (kedua dari kanan/berkemeja putih), Effendi Gazali (ketiga dari kanan) dalam acara bedah buku "][/caption]

Mungkin benar bahwa kedewasaan lebih mudah terbentuk karena adanya penderitaan. Itu pula yang dialami oleh Budiman Sudjatmiko (selanjutnya disebut "BS"). Pada masa kecilnya, ia melihat tiga kematian tragis dan semuanya kematian orang miskin. Yang pertama, pada usia lima tahun, ia melihat seorang miskin mati bunuh diri karena tak mampu menanggung beban terlilit utang. Yang kedua, pada usia delapan tahun, ia melihat seorang petani miskin mati dibunuh oleh seorang militer karena si petani miskin tersebut berjuang untuk mendapatkan tanah. Yang ketiga, masih pada usia delapan tahun, ia melihat kematian seorang penjudi miskin yang dalam keadaan bahagia karena menang judi ia menyetir mobil lalu mati dalam kecelakaan. Kemiskinan yang diikuti dengan kematian yang tragis itu menggelisahkannya pada usia kanaknya. Tidak mengherankan bahwa di bangku SMP, ketika teman-temannya masih membaca Superman dan Spiderman, ia malah membaca buku-buku filsafat.

Itulah sekelumit kisah masa kecil BS yang diuraikannya dalam bedah novel karyanya, “Anak-anak Revolusi 1” dan Anak-anak Revolusi 2” (selanjutnya disebut "AAR") dengan narasumber Effendi Gazali dan Maman Suherman di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta Selatan pada Rabu, 20 Agustus 2014. Acara bedah buku tersebut bisa dibilang terlambat karena cetakan pertama novel tersebut sudah diedarkan pada 2013 dan sudah menyandang status “best seller” pula. Keterlambatan itu semata-mata disebabkan oleh kesibukan BS.

[caption id="attachment_354884" align="aligncenter" width="576" caption="Buku "]

1408857187209301853
1408857187209301853
[/caption]

BS mengakui bahwa penulisan AAR terinspirasi dari novel Laskar Pelangi dan Dunia Sophie. Namun, lebih dari itu, lewat novel itulah ia bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang menganggapnya jadi "diam" setelah masuk PDIP dan menjadi anggota DPR. Novel itu pun bukan persoalan elaborasi pemikiran, tapi lebih pada usaha BS untuk menjelaskan hal-hal rumit dengan bahasa sederhana, hal-hal rasional dengan bahasa emosional, hal-hal nonpersonal dengan bahasa personal. Membaca kedua novel tersebut pun bisa dikatakan sama dengan membaca perjalanan hidup BS, lengkap dengan kisah cinta dan karier politiknya. Menyinggung kisah-kisah cinta dalam novel tersebut, BS menyatakan bahwa dengan kisah-kisah cinta itulah ia menjelaskan hal-hal yang abstrak seperti hubungan manusia dengan Tuhan.

Sebagai salah satu narasumber, Maman Suherman (selanjutnya disebut "MS") berpendapat AAR 1 adalah novel yang detail, seperti halnya roman. Kisah masa kecil sangat mewarnai buku bagian pertama tersebut. Dengan tulisan tebal, kisah masa kecil itu bisa dibedakan dengan mudah dibandingkan kisah politik yang dicetak miring. Dengan pembedaan tersebut, pembaca bisa memilih untuk melompati kisah politik misalnya, dengan hanya membaca bagian yang bercetak tebal. Dari kisah politik, MS menyimpulkan dua hal. Pertama, jika bermain-main dengan intel, Anda akan ditagih oleh Intel dalam hal-hal selanjutnya. Kedua, media tidak banyak membantu anak-anak revolusi karena pada bagian-bagian tertentu, Anda sendirian. Selain itu, media selalu menang dan itu bisa dilihat baik pada Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi. Menutup sesinya, MS menyatakan bahwa BS layak jadi menteri yang menangani urusan pedesaan.

Sementara itu, Effendi Gazali (selanjutnya disebut "EG") menyoroti AAR lebih pada kisah politiknya. Dalam novel tersebutlah ia menemukan jawaban mengapa orang-orang membenci Orde Baru. BS memang saksi mata Orde Baru dan dalam novelnya itu ia menggambarkan rezim Soeharto. EG, bahkan sebagai wartawan tabloid wanita, Nova, pun pernah merasakan teror ala Orde Baru gara-gara menuliskan skandal yang dilakukan oleh anggota dharma wanita kala itu. Namun demikian, EG berpendapat BS objektif dalam menggambarkan Orde Baru. Karena itu, menurutnya, akan sangat bagus bila buku sejarah yang dibaca oleh siswa sebagai generasi penerus bangsa adalah buku semacam AAR.

[caption id="attachment_354889" align="aligncenter" width="400" caption="Budiman Sudjatmiko menandatangani buku karyanya"]

14088590702046812332
14088590702046812332
[/caption]

Bisa jadi benar bahwa kebesaran seseorang ditentukan oleh sedikit-banyaknya orang yang dijadikan bagian perjuangannya. BS melihat seorang petani bisa menjadikan anaknya sebagai akuntan, tapi selanjutnya perjuangan itu selesai, berhenti hanya sebagai akuntan. Mungkin perjuangannya yang sebenarnya adalah berkecukupan secara ekonomi. BS sendiri mengidolakan Soekarno dan Abraham Lincoln. Menurutnya, kedua tokoh tersebut memperjuangkan sesuatu yang besar dan tidak bermasalah walaupun tetap miskin. Hidup seperti itulah hidup yang asyik menurut BS. Karena itu, tak perlu lagi dipertanyakan bagaimana pengalaman melihat tiga kematian tragis tiga orang miskin pada masa kecilnya bisa memompa semangat BS untuk memajukan desa lewat kiprahnya di DPR. Selamat melanjutkan perjuangan, BS!

Jakarta, Minggu 24 Agustus 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun