Belakangan ini semakin banyak gerakan masyarakat yang melakukan deklarasi "Stop Menikah Dini". Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan izin menikah pada pihak pria sampai usia 19 tahun dan pihak wanita sampai usia 16 tahun. Undang-undang ini sendiri sudah lama menuai prokontra karena bertentangan dengan banyak undang-undang lain yang sampai saat ini belum terlihat titik terangnya, termasuk dalam meningkatkan batasan usia menikah. Ironisnya masih ada saja orangtua yang menikahkan anaknya di bawah batasan usia tersebut. Padahal batasan usia tersebut pun masih dinilai terlalu dini.
Batasan usia menikah pria 19 tahun adalah pria yang baru 1 atau 2 tahun lulus dari SMA, lalu usia menikah wanita 16 tahun adalah remaja putri yang baru saja duduk di bangku SMA. Secara fisiologis, kedua pihak ini memang sudah mampu memiliki keturunan tapi manusia diciptakan bukanlah semata-mata hanya untuk berkembang-biak. Namun secara psikologis usia tersebut belum dapat dikatakan cukup dewasa untuk menghadapi kemelut beban rumah tangga.
Banyak pihak yang menentang menikah pada usia dini dengan alasan-alasan yang sangat rasional. Menikah tidak hanya masalah usia dan kesiapan menikah tidak hanya sebatas mahar dan pagelaran pesta yang mewah. Banyak yang mengaku siap menikah tapi hanya siap untuk meng"halal"kan nafsu. Siap menikah tentu saja terkait bagaimana mempersiapkan fisik dan mental yang sehat, serta pengetahuan yang cukup untuk kemudian menghadirkan generasi yang sehat dan bermanfaat.
Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan pasangan-pasangan tersebut belum benar-benar siap menikah. Terlebih lagi yang menikah karena sudah "kecelakaan" duluan. Misalnya pihak wanita yang tidak memahami status kesehatan, tren kurus ala-ala artis korea yang memicu banyak wanita untuk diet tanpa menyadari efek negatifnya. Berat badan yang dinilai "ideal" ini, ketika hamil akan menambah jumlah ibu hamil dengan kondisi KEK (kurang energi kronis) dan anemia. Ibu hamil dengan kondisi ini berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan atau stunting.
Lalu dari pihak pria, sebagai kepala keluarga seyogyanya mampu memprioritaskan kebutuhan keluarga, termasuk gizi keluarga. Sering kali terkait gizi ini dipasrahkan ke pihak ibu saja dan ayah hanya memberikan nafkah. Padahal nafkah yang diberikan seharusnya dipantau oleh ayah apakah cukup dan telah memenuhi gizi yang seimbang.
Budaya pola makan yang kurang diperhatikan seperti tidak sarapan sehat, makanan instan, jajanan tidak sehat, atau masakan di rumah yang tidak memperhatikan gizi seimbang menjadi penyumbang terbesar lahirnya generasi penerus bangsa dengan potensi manusia yang rendah. Selain itu ayah yang merokok dan memaparkan asap rokok pada keluarga seringkali tidak dianggap masalah. Padahal paparan rokok pada bayi dapat menyebabkan kematian akibat byi menderita masalah pernafasan. Belum lagi masalah ketersediaan air bersih dan air yang layak minum.
Kenapa harus "ribut-ribut" masalah hak orang untuk menikah? Tentu saja ini harus kita perhatikan bersama karena diantara hak orang untuk menikah terdapat hak kita sebagai warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Setidaknya subsidi negara dapat dialokasikan untuk sasaran masyarakat yang bernilai "investasi" bukan hanya yang sifatnya "konsumtif".
Anak-anak yang dilahirkan dari orangtua yang belum siap akan sering sakit-sakitan. Keluar masuk rumah sakit dengan biaya BPJS tentu menjadi beban negara untuk kesehatan. Tidak berhenti saat anak-anak saja. Bahkan saat dewasa anak-anak tersebut berisiko menderita penyakit degeneratif dan gangguan metabolisme yang masih juga keluar masuk rumah sakit. Artinya negara akan terus menerus memberikan subsidi untuk kesehatannya yang lemah. Itu memang kewajiban negara, tapi orangtua juga memiliki kewajiban sebagai orangtua yang bijak dan sebagai warga negara untuk membantu meringankan beban negara.
Belum lagi mereka-mereka yang menikah dengan kondisi ekonomi yang belum siap. Filosofi menikah akan menambah rezeki tentu saja tidak salah jika perhitungan dan usaha yang dilakukan tepat, bukan nekat. Namun banyak dari ketidaksiapan ekonomi ini justru menambah kesenjangan status sosial dan ekonomi, menambah angka kemiskinan, dan lagi-lagi harus disubsidi negara. Negara memang mensubsidi keluarga-keluarga miskin dan sangat miskin dengan banyak bantuan, seperti PKH (Program keluarga Harapan). Tapi mau sampai kapan kita terlepas dari stigma konsumtif.
Kemiskinan sudah dipahami sebagai rantai yang harus diputus ikatannya. Memutus rantai ini tentu bukan hal yang mudah dan tidak semata-mata hanya tanggungjawab negara. Kita memiliki peran dan kita memang harus berperan. Jangan lelah menyebarkan informasi dan memberdayakan masyarakat sekitar. Bahkan orang-orang di lingkungan terdekat kita bisa saja merupakan bagian dari masalah atau bahkan kita termasuk dalam masalah itu.