Manusia telah diciptakan oleh Tuhan dengan adanya perbedaan. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang memiliki kelebihan yang luar biasa, salah satunya akal. Akal menjadi pondasi manusia untuk unggul dibanding makhluk Tuhan yang ada di bumi. Tunggu.. tunggu.., kenapa di bumi saja, kenapa tidak menggunakan konteks dunia? Tenang.. tenangg.. karena manusia sekarang masih diperkirakan tinggal di bumi, belum berpindah ke mars…hehe… . Oke, manusia dibekali akal untuk berpikir, pikiran yang ditimbulkan oleh setiap manusia memiliki karakter yang berbeda, sehingga timbul-lah kata “pendapat”.
Pendapat, pandangan, gagasan, atau buah pikiran setiap insan di bumi memiliki keberagaman. Lalu, Ketika kita memiliki sebuah tujuan yang sama, apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu? Bentar.. bentar.. maksudnya seperti apa? Seperti ini, kita ambil perumpamaan, ada sebuah koloni semut, namun di kemudian hari, mereka mengetahui akan terjadinya kekeringan. Loh, kok mereka sudah tahu akan terjadi ke depan? Eitss, tenang dulu, ini hanya perkiraan mereka. Toh, kita juga pasti memiliki perkiraan atau terkaan kedepannya kan, hehe.. . oke dilanjutkan, karena mereka memiliki dugaan akan terjadinya bencana kekeringan. Otomatis, mereka memiliki tujuan nya yang sama yaitu mereka tidak ingin adanya kelaparan, dan resiko-resiko yang muncul apabila bencana itu telah terjadi. Namun, untuk mencapai tujuan itu, mereka ternyata memiliki sudut pandang yang berbeda. Ada seekor semut A, berpendapat bahwa “ahh, untuk pangan ini tetap tersedia mencapai dugaan bencana, kita tahan saja perut kita untuk tidak mengonsumsinya”, sedangkan semut B, mengatakan “tidak bisa, nanti kita akan mati kelaparan, sebaiknya yang harus kita lakukan untuk terus mengisi kekosongan perut kita setiap hari, dan tetap bekerja mencari pangan setiap hari pula”. Semut C memberikan pendapat yang berbeda juga, “sebaiknya, untuk pangan itu tetap tersedia, kita perlu adanya penghematan”. Nah.. dari sini, timbul kebimbangan, bagaimana caranya untuk tetap hidup hingga kekeringan itu menimpanya.
Dengan demikian, perlu adanya satu komando di bawah tujuan itu. Komando itu menjadi kunci keemasaan, atau kunci mencapai kejayaan, kunci yang dimaksud tersebut adalah KESEPAKATAN. Tidak adanya keegoisan, menjadi faktor penting mencapai tujuan bersama.
Mengerucut kata egois, ternyata egois memiliki dampak yang buruk dalam segi apapun, terutama menyangkut paut keberbangsaan. Bangsa memiliki keberagamaan, terutama di tanah air Indonesia, banyak sekali suku, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda-beda. Hal ini, sudah ada sejak terdahulu, sebelum bendera Indonesia dikibarkan dengan gagah. Perumusan Pancasila menjadi segmen penting untuk mencapai Indonesia merdeka. Dalam pidato soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, menggarisbawahi “Segenap rakjat hendaknja ber-Tuhan setjara kebudajaan, ja’ni dengan tiada egoism agama”. Egoism tidak dikehendaki oleh soekarno melalui sebait kalimat itu yang memiliki makna yang luar biasa. Pada dasarnya, Indonesia untuk tetap merdeka perlu memahami satu sama lain atau saling menghargai dan menghormati.
Terutama belakangan ini, sedang hangat diperbincangkan di kanal media sosial perihal ketegangan antar umat beragama. Telah kita ketahui, Indonesia menjadi negara penyumbang warga yang memiliki keberagamaannya yang cukup tinggi. Dilansir dari laman databoks.katadata.co.id mengungkapkan bahwa di tahun 2021 jumlah penduduk Indonesia 273,87 juta jiwa dengan 86,93% beragama islam, 7,47% beragama Kristen, 3,08% beragama katolik, 1,71% beragama hindu, 0,74% beragama buddha, 0,03% beragama konghucu, dan 0,05% menganut aliran kepercayaan. Terlihat bahwa hampir seluruh warga Indonesia memiliki agamanya masing-masing.
Hingga, sekarang ini muncul banyak problematika menyangkut paut kesenjangan beragama. Banyak bermunculan klaim-klaim yang menyatakan bahwa agamanya yang paling benar, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan hidup sebagai warga negara yang tenang dan damai. Itulah sikap egoism yang patut dihindari dan dikikiskan. Egoisme cukup mengerikan bagi kemajuan bangsa Indonesia, karena faktor dari dalam itu mampu menimbulkan sejuta problematika. Bung karno pun mengemukakan pendapat yang tercantum dalam peristiwa Lahirnnya Pancasila 1 Juni 1945.
“Marilah kita amalkan, djalankan agama, baik islam, maupun Kristen, dengan tjara jang berkeadaban”. Maksudnya, kita tetap hidup dalam lingkungan keberagaman, dengan saling hormat-menghormati satu sama lain. Menjalankan kewajibannya sesuai dengan agama yang mereka anut dengan tidak perlu mengusik ajaran agama lain. Demikian, penting untuk mengembalikan kesadaran masyarakat Indonesia yang heterogen dengan hendaknya perlu dilirik kembali pidato Soekarno tersebut untuk diresapkan, kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pentingnya bagi kita untuk menegakkan toleransi. Toleransi menjadi alat pemersatu bangsa dengan tanpa adanya toleransi, hidup akan menimbulkan ketegangan, saling perang dan saling bermusuhan. Sehingga, hal itu menolak pedoman warga negara Indonesia yaitu Pancasila yang terkandung dalam sila ketiga “persatuan Indonesia”. Di mana yang seharusnya nilai yang terkandung dalan sila ketiga itu harus ditegakkan. Tanpa adanya penegakkan nilai tersebut, negara akan berada di ujung tanduk kehancuran.
Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia memandang perihal ini harus dianggap fundamental, agar permasalahan ini terbinasakan dari Tanah Air kita, karena sejatinya permasalahan yang muncul pada diri kita perlu diselesaikan oleh kita sendiri. Kita perlu Bersatu untuk membangun Indonesia Merdeka, karena kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia. Esensialnya, bangsa itu agar tetap berdiri jika memiliki kehendak untuk Bersatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H