Terpilih menjadi Tamu Allah adalah sebuah anugerah. Namun belum semua kita diberi kemampuan dan kesempatan memenuhi undangan-Nya. Tetapi kerinduan dijiwa setiap muslim untuk berusaha memampukan diri melakukan perjalanan ke Baitullah serta menyinggahi kota Nabi sangatlah besar. Terbukti dengan adanya antrian daftar tunggu calon jamaah haji yang semakin panjang dan lama.
Oleh karena itu bagi para tamu Allah semoga dapat memanfaatkan setiap momen dan menikmati setiap detik jamuan-Nya. Dan yang lebih penting adalah mampu memaknai pesan dibalik prosesi yang ada dalam setiap rukun haji maupun wajib haji.
Untuk itu setiap calon jamaah haji harus memiliki bekal. Berteman sabar, berbekal ilmu manasik haji dan tentunya tawakkal sebagai sebaik-baik bekal. Selain itu bekal penting lainnya adalah mempelajari sirah atau sejarah nabi.
Sehingga saat berziarah ke tempat-tempat bersejarah di kota suci Madinah dan Mekkah, dapat kita selusuri dan bayangkan kembali jejak perjuangan keluarga nabi Ibrahim as dan perjuangan Rasulullah Saw beserta keluarga dan para sahabat.
Rasakan betapa dekatnya kita dengan Rasulullah ketika berkunjung ke Raudah di mesjid Nabawi. Getar-getar kerinduan pada Rasulullah walau berabad jarak memisahkan seakan terobati. Namun rasa yang bergejolak di dalam dada tetap tak tertahankan. Maka, masih terbayang jelas dipelupuk mata ini saat butiran-butiran bening menghiasi kulit di wajah-wajah berwarna rupa.
Demikianlah, rombongan calon jamaah haji reguler Indonesia gelombang pertama yang nantinya akan melaksanakan haji tamattu singgah terlebih dulu di Madinah Al Munawarrah. Sebuah kota tua yang telah menjelma menjadi kota modern yang teratur, bersih dan tenang. Dimana bentuk dan tinggi gedung-gedung diseputar mesjid Nabawi tampak mirip. Berwarna lembut seperti mesjid Nabi. Selain itu Madinah juga memiliki kelebihan tanah yang subur dengan kebun-kebun kurmanya.
Sembilan hari di kota nabi terasa singkat. Jamaah pun harus segera bergerak mengambil miqot atau niat berihram menuju Bir Ali untuk melaksanakan umrah wajib ke Baitullah.
Labbaik Allahumma Labbaik....aku datang memenuhi panggilan-Mu...
Sepanjang perjalanan Madinah-Mekkah, lepaskanlah pandangan ke luar jendela. Jalan lebar bebas hambatan yang terdiri dari dua arah dan masing-masing arah mempunyai tiga jalur. Kendaraan yang melintas berkelebat dalam kecepatan tinggi. Sementara itu gunung-gunung batu yang ada di kiri kanan jalan akan tampak bagai bayangan hitam raksasa bila perjalanan dilalukan malam hari.
Bayangkanlah, dari arah sebaliknya, Rasulullah bersama sahabat Abu Bakar ra menuju Madinah. Melintasi gurun siang malam di atas punggung unta dalam suasana penuh teror dikejar-kejar pasukan Quraisy. Betapa beratnya perjuangan hijrah Beliau.
Sampai di Mekkah Al Mukarromah akan terlihat perbedaan karakter dua kota suci ini. Kota Madinah terasa lembut namun dinamis. Sedangkan Mekkah tampak sebaliknya. Keras, tegar dan menumbuhkan gelora semangat. Pantaslah seorang nabi dilahirkan di lembah tandus dan kering ini, sehingga berkarakter tangguh ditempa alam.
Lalu, rasakanlah sensasi saat pertama memandang pesona Baitullah dengan berpuluh ribu jamaah yang bergerak thawaf disekelilingnya. Sebuah prosesi yang dapat dimaknai bahwa seluruh alam semesta bertasbih kepada Allah semata. Tak terkecuali kita yang berthawaf sebagai bentuk ketaatan manusia mengikuti aturan yang Maha Pencipta. Gerak dan langkah kita hanya terpusat pada Allah, Laa ilaaha Illallaah.
Maka, disini, di dalam Masjidil Haram yang memancarkan Kemegahan dan Keagungan Sang Khalik, laksanakanlah prosesi ibadah umroh yaitu thawaf, sa’i dan tahalul dalam balutan pakaian ihram yang menandakan telah kita tanggalkan atribut keduniaan.
Selanjutnya sambil menunggu waktu wukuf di Arafah, maksimalkan ibadah tanpa abai pada kesehatan diri. Dan jangan lupa, simbol-simbol dalam prosesi ibadah haji secara ekspresif sarat dengan muatan sosial.
Oleh karena itu pedulilah pada orang-orang tua yang lemah dan teman yang sakit atau kesusahan. Bertukar senyum dan sapa, menyiapkan telinga dan bahu bagi teman yang ingin “curhat”, karena kelelahan dapat menyebabkan seseorang cenderung menjadi sensitif dan emosional.
Dan bila puncak haji tiba, saatnya untuk bermuhasabah di padang Arafah. Putarlah video perjalanan hidup sejak baligh hingga kini dan perbanyak istighfar memohon ampunan-Nya.
Usai wukuf di Arafah, lanjutkan perjalanan setelah matahari terbenam untuk mabit atau bermalam di Muzdalifah. Sebuah tempat yang terletak diantara Arafah dan Mina. Kumpulkan kerikil dan pulihkan tenaga untuk persiapan melontar jumrah.
Setelah melempar jumrah Aqobah dihari pertama di Mina, jamaah haji dapat melakukan tahalul awwal. Melepas dan mengganti baju ihram serta terbebas dari larangan ihram.
Selama melalui prosesi melontar berangkatlah bersama rombongan. Kebersamaan dan kekompakan untuk saling menjaga diantara kerumunan jamaah dan kerikil yang bertebaran sungguh mengharukan. Namun untuk menghindari padatnya jamaah dan dapat melontar dengan aman dan nyaman lakukanlah di lantai atas jamarat yang terdiri dari 5 lantai. Siapkan pecahan uang kecil, karena di pintu-pintu keluar jamarat akan banyak yang membutuhkan sedekah kita.
Akhirnya, kembali ke Mekkah untuk melaksanakan thawaf ifadhah dan sa’i. Lebih berat karena padatnya jamaah. Namun demikian semangat dan dahsyatnya doa insya Allah akan mampu mengalahkan lelah. Belajar dari bunda Hajar yang berikhtiar mencari air untuk anaknya Ismail as hingga diabadikan oleh Allah melalui prosesi sa’i. Dan sebelum meninggalkan Baitullah, lakukanlah thawaf wada’ sebagai tanda perpisahan.
Selamat jalan para tamu Allah. Semoga meraih predikat mabrur agar sekembalinya ke tanah air menjadi pribadi yang lebih baik dan mampu mewarnai masyarakat dengan kebaikan***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H