Saya tidak terlalu terkejut dengan hasil survey yang menyatakan, bahwa masih lebih besar persentase rakyat Indonesia yang menganggap era kepemimpinan almarhum mantan Presiden Soeharto lebih baik sehingga responden lebih menyukainya dibanding presiden-presiden kita yang lain. Hasil survey itu, paling tidak, menggambarkan cara pandang masyarakat yang berbeda-beda, didasari oleh kepentingan masing-masing.
Menurut saya, secara garis besar memang ada dua kelompok masyarakat yang tidak akan mudah melupakan kepemimpinan Pak Harto. Mereka adalah masyarakat yang memandang bahwa hidup mudah lebih baik dari pada kebebasan dan demokrasi serta kelompok-kelompok tertentu yang diuntungkan semasa kepemimpinan Pak Harto.
Pendukung Pak Harto dari masyarakat kelas bawah sah-sah saja berpendapat bahwa hidup di zaman Pak Harto memang lebih enak. Beli beras murah, minyak murah tak perlu antri, ibaratnya kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan bisa dipenuhi. Kelompok masyarakat ini tidak peduli dengan demokratisasi, karena kebebasan berpendapat bagi mereka adalah sesuatu yang absurd. Pengalaman reformasi selama lebih dari sepuluh tahun ini, dimana hingga saat ini hidup masyarakat kelas bawah justru lebih susah, seolah menjadi penguat pendapat bahwa hidup di jaman Pak Harto memang lebih enak. Mereka tidak peduli bebas bicara atau tidak, yang penting bisa makan tiap hari.
Kelompok kedua yang lebih suka dengan Pak Harto tentu saja adalah mereka-mereka yang hidupnya lebih nikmat di zaman orde baru. Orang-orang semacam ini masih ada hingga saat ini.
Saya ingat betul ketika reformasi baru saja bergulir, ada pengamat politik yang mengatakan bahwa partainya Orde Baru akan jatuh, dan partai-partai reformis akan memperoleh dukungan masyarakat. Buktinya, partai kuning itu malah bertahan sampai sekarang dan belum pernah keluar dari tiga besar pemenang pemilu.
Apakah lebih suka kepada Pak Harto adalah sebuah kesalahan? Tentu saja tidak. Ini kan negara demokratis, kita boleh mengambil sikap sendiri. Justru perbedaan pendapat itulah yang harus kita hargai sebagai salah satu hasil reformasi.
Suatu ketika, saya pernah berdiskusi dengan mantan Rektor UGM, Prof. Ichlasul Amal mengenai manfaat reformasi. Pertanyaan saya ketika itu, apakah memang demokratisasi akan melahirkan kemakmuran, karena rakyat berharap dan berpendapat, reformasi ini akan memperbaiki nasib mereka.
Jawaban Pak Amal sungguh mengagetkan saya. Beliau mengatakan, tidak. Tidak ada hubungannya sama sekali antara demokrasi dan kemakmuran. Pak Amal pun bercerita, bahwa di tahun 1998, ketika gerakan reformasi muncul, sempat ada pertanyaan dari sejumlah aktivis mengenai hal itu, dan ketika itu Pak Amal juga menjawab, bahwa reformasi dan demokrastisasi tidak memberi jaminan akan muncul era kemakmuran bagi rakyat.
Lalu Pak Amal mencontohkan sejumlah negara yang diselenggarakan tanpa system demokrasi, seperti Arab Saudi misalnya, yang justru sangat makmur. Tetapi negara-negara demokratis justru tidak pernah lepas dari konflik dan masih jauh dari kemakmuran.
Jadi, apa manfaat reformasi dan demokratisasi itu, Pak, tanya saya selanjutnya. Pak Amal mengatakan, yang paling besar manfaatnya adalah kita sebagai rakyat memiliki kesempatan untuk memilih. Memilih ini dalam arti yang sangat luas, mulai dari memilih presiden, memilih wakil rakyat, dan memilih untuk bersikap. Dengan reformasi kita punya pilihan, dan itu adalah berkah terbesar demokrasi.
Ketika kesempatan untuk memilih itu datang, maka lahirlah perbedaan. Hal itu adalah sesuatu yang tak mungkin dihilangkan karena Indonesia, dengan lebih dari 250 juta kepala, tentu memiliki ragam pilihan yang begitu banyak.
Sebagian dari kita menganggap almarhum Soeharto yang terbaik, sebagian yang lain memilih SBY, Habibie, Megawati atau Gus Dur. Semua pilihan itu adalah sikap yang harus kita hormati.
Buah terbaik dari reformasi adalah kebebasan berpendapat. Bayangkan, jika kita masih hidup di zaman orde baru, mungkin tak ada kesempatan untuk mengungkapkan pikiran kita sebebas-bebasnya melalui blog semacam ini, karena aparat Kodim dan Korem punya tugas tambahan, yaitu membaca semua blog dan menangkapi mereka yang menulis kritis.
Syukur, itu tidak akan terjadi karena kita sudah melakukan reformasi.
Soal pilihan-pilihan warga negara setelah ini, tentang hal apapun, adalah buah reformasi yang harus kita syukuri. Tugas kita saat ini yang terbesar mungkin adalah belajar untuk lebih dewasa ketika berbeda pendapat. Dan saya yakin kita semua bisa. Kita ini kan orang Indonesia. Lahir di tengah keanekaragaman, pluralitas, perbedaan. Kita sudah melangkah sejauh ini mendirikan republik, dan kita bisa.
Sekali lagi, tugas kita adalah belajar untuk berbeda. Dan kita pasti bisa karena yang paling Indonesia adalah perbedaan diantara kita itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H