Pagi itu, matahari belum menampakkan sinarnya ketika tanah di sebuah desa kecil di lereng gunung bergetar hebat. Awan kelabu membumbung tinggi, seolah menelan langit, dan dalam sekejap, bumi seakan berteriak, mengguncang dengan kekuatan yang tak tertahankan. Desa Langit Biru, yang selama ini tenang dan damai, mendadak menjadi medan kehancuran. Gunung yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan mereka, meletus tanpa peringatan.
Diah, seorang ibu rumah tangga berusia 35 tahun, sedang mempersiapkan sarapan ketika guncangan itu terjadi. Tanpa sempat berpikir, ia segera berlari ke kamar anak-anaknya. Kepanikan melanda saat melihat rumah mereka mulai retak. Dengan segenap tenaga, Diah menggendong anak bungsunya, Fikri, dan menyeret Farah, anak sulungnya, keluar dari rumah. Namun, tak semua penghuni desa seberuntung mereka. Banyak yang tertinggal di reruntuhan, terperangkap tanpa harapan.
Di sisi lain, di kota besar yang berjarak sekitar 70 kilometer dari desa itu, seorang pria muda bernama Fajar baru saja selesai berlari pagi ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan darurat masuk dari markas besar Palang Merah. Sebagai salah satu relawan berpengalaman, Fajar tahu bahwa ini bukan sekadar latihan atau peringatan biasa. Letusan gunung dan gempa bumi telah terjadi, dan bantuan segera dibutuhkan.Tanpa menunggu lama, Fajar langsung menuju markas untuk bersiap. Dalam pikirannya, terbayang kembali peristiwa gempa besar lima tahun silam yang membawanya bergabung dengan Palang Merah. Kala itu, ia hanya seorang mahasiswa biasa yang terperangkap dalam tragedi. Kini, ia adalah seorang relawan yang berkomitmen, siap mengulurkan tangan kapan pun dibutuhkan.
Misi Kemanusiaan Dimulai pada markas besar Palang Merah, kesibukan sudah tampak sejak subuh. Relawan dari berbagai divisi bersiap dengan perlengkapan mereka dari tim medis, tim evakuasi, hingga tim logistik. Fajar bertugas sebagai koordinator lapangan untuk wilayah bencana di sekitar desa Langit Biru. Bersama timnya, ia menaiki truk Palang Merah, membawa obat-obatan, makanan, dan selimut untuk para korban.
Dalam perjalanan menuju lokasi bencana, suasana di dalam truk dipenuhi dengan percakapan serius. Mereka mendengar laporan dari radio komunikasi bahwa desa itu sudah terputus dari akses jalan karena longsoran tanah. Hal ini membuat Fajar dan timnya semakin waspada, karena mereka tahu waktu adalah faktor krusial dalam menyelamatkan nyawa.
“Fajar, ini mungkin lebih buruk dari yang kita bayangkan. Mereka bilang banyak rumah yang tertimbun longsor,” kata Dina, seorang perawat yang juga ikut dalam misi ini. Fajar hanya mengangguk. Tatapannya kosong menatap jalan berdebu di depan mereka. Ia ingat bagaimana dalam setiap misi, selalu ada dilema antara kecepatan dan keselamatan. Namun kali ini, ia bertekad untuk sampai di sana secepat mungkin. Sebagai orang yang pernah kehilangan segalanya dalam bencana, ia tahu betul apa yang dirasakan para korban di saat-saat seperti ini.
Di Tengah Kekacauan sesampainya di lokasi, pemandangan desa Langit Biru benar-benar memukul batin Fajar. Puing-puing rumah berserakan, pepohonan tumbang, dan beberapa warga tampak duduk di tepi jalan, menatap kosong pada reruntuhan yang dulunya adalah rumah mereka. Di kejauhan, asap vulkanik masih mengepul, menambah suasana mencekam di desa itu.
Fajar segera memimpin timnya menuju titik evakuasi. Mereka bertemu dengan tim penyelamat lokal yang sudah bekerja tanpa henti sejak pagi. Koordinasi cepat dilakukan. Tugas pertama mereka adalah memastikan semua korban yang masih hidup dievakuasi dari zona bahaya. Tim medis segera mendirikan pos darurat untuk memberikan pertolongan pertama bagi korban yang terluka.
“Pak, tolong… anak saya… masih di dalam,” suara lirih seorang ibu terdengar, menarik perhatian Fajar. Ibu itu, wajahnya kotor dan penuh debu, tampak putus asa. Fajar segera menggerakkan tim untuk mencari anaknya yang terperangkap di rumah yang setengah tertimbun longsoran.
Dengan hati-hati, Fajar dan beberapa relawan menggali dengan alat seadanya. Mereka tahu, di bawah reruntuhan itu, nyawa seorang anak kecil sedang menanti. Setelah beberapa jam yang terasa seperti seabad, suara lemah seorang anak terdengar dari balik puing. “Tolong…,” suara itu membuat mereka bekerja semakin cepat. Fikri, anak bungsu dari ibu itu, berhasil diselamatkan dengan luka-luka ringan. Tangis haru ibu dan anak itu membuat semua orang yang menyaksikan tak kuasa menahan air mata.
Namun, di balik kebahagiaan itu, Fajar tahu bahwa masih banyak orang yang belum berhasil ditemukan. Dan waktu mereka semakin terbatas, dengan ancaman letusan susulan yang bisa terjadi kapan saja.
Cahaya di Tengah Kegelapan Hari-hari berlalu dengan cepat. Fajar dan timnya hampir tidak pernah berhenti bekerja. Posko Palang Merah didirikan di dekat desa, menjadi pusat distribusi bantuan dan layanan medis. Tim-tim relawan bergantian membantu para korban yang terluka, kehilangan, atau hanya sekadar membutuhkan pelukan hangat.
Setiap malam, Fajar duduk sendirian di tepi posko, menatap bintang-bintang yang terlihat samar di langit yang masih dipenuhi debu vulkanik. Baginya, setiap misi adalah pengingat akan rapuhnya hidup manusia. Ia pernah kehilangan keluarganya dalam gempa lima tahun silam, dan setiap kali melihat para korban bencana, ia merasa seakan kembali ke masa lalu.“Sampai kapan ini akan terjadi, ya?” gumam Fajar suatu malam, ketika Dina mendekatinya dengan dua cangkir kopi hangat.
“Kita tidak bisa mengendalikan alam, Fajar. Tapi kita bisa memilih untuk selalu ada di saat mereka membutuhkan. Itu yang membuat kita tetap kuat,” jawab Dina sambil tersenyum tipis.
Kata-kata Dina menenangkan hati Fajar. Mungkin benar, menjadi relawan bukan hanya soal menyelamatkan nyawa. Ini tentang memberi harapan, memberi cahaya di tengah kegelapan. Dalam setiap bantuan yang mereka berikan, ada kehidupan yang mungkin terselamatkan, ada semangat yang kembali menyala.
Kembali ke Kehidupan dua minggu setelah bencana, situasi di Desa Langit Biru perlahan mulai membaik. Meskipun banyak rumah yang hancur, para korban mulai kembali menata hidup mereka dengan bantuan dari berbagai pihak, termasuk Palang Merah. Bantuan internasional juga mulai berdatangan, membawa harapan baru bagi para korban.
Fajar, yang kini harus bersiap untuk misi berikutnya, merasakan kepuasan yang mendalam. Bukan karena ia menjadi pahlawan, tapi karena ia bisa berada di sana untuk membantu mereka yang tak berdaya. Dalam hatinya, ia selalu percaya bahwa Palang Merah bukan hanya tentang organisasi, tetapi tentang jiwa kemanusiaan yang selalu ada untuk menolong.
Saat ia melangkah kembali ke markas, Fajar berjanji pada dirinya sendiri bahwa selama ia masih bisa berdiri, ia akan terus berjuang di garis depan kemanusiaan. Setiap jejak yang ia tinggalkan, setiap bantuan yang ia berikan, adalah untuk mereka yang terjatuh, agar mereka tahu bahwa mereka tidak pernah sendiri.
Epilog: Semangat yang Tak Pernah Padam
Bagi Fajar, bencana adalah panggilan jiwa. Setiap hari, ia melihat dunia dari sisi yang berbeda—bukan sebagai tempat yang penuh kerapuhan, tetapi sebagai kesempatan untuk memberi, untuk hadir, dan untuk menjadi cahaya di tengah kegelapan. Kepalangmerahan bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa, tetapi juga tentang menyembuhkan hati, menghidupkan harapan, dan memulihkan dunia satu langkah kecil demi langkah kecil. Cerita ini menggambarkan perjalanan emosional dan fisik seorang relawan Palang Merah yang didorong oleh tragedi pribadinya untuk membantu sesama. Dengan fokus pada nilai-nilai kemanusiaan, cerita ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang pentingnya kehadiran dan bantuan dalam menghadapi bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H