Cahaya di Tengah Kegelapan Hari-hari berlalu dengan cepat. Fajar dan timnya hampir tidak pernah berhenti bekerja. Posko Palang Merah didirikan di dekat desa, menjadi pusat distribusi bantuan dan layanan medis. Tim-tim relawan bergantian membantu para korban yang terluka, kehilangan, atau hanya sekadar membutuhkan pelukan hangat.
Setiap malam, Fajar duduk sendirian di tepi posko, menatap bintang-bintang yang terlihat samar di langit yang masih dipenuhi debu vulkanik. Baginya, setiap misi adalah pengingat akan rapuhnya hidup manusia. Ia pernah kehilangan keluarganya dalam gempa lima tahun silam, dan setiap kali melihat para korban bencana, ia merasa seakan kembali ke masa lalu.“Sampai kapan ini akan terjadi, ya?” gumam Fajar suatu malam, ketika Dina mendekatinya dengan dua cangkir kopi hangat.
“Kita tidak bisa mengendalikan alam, Fajar. Tapi kita bisa memilih untuk selalu ada di saat mereka membutuhkan. Itu yang membuat kita tetap kuat,” jawab Dina sambil tersenyum tipis.
Kata-kata Dina menenangkan hati Fajar. Mungkin benar, menjadi relawan bukan hanya soal menyelamatkan nyawa. Ini tentang memberi harapan, memberi cahaya di tengah kegelapan. Dalam setiap bantuan yang mereka berikan, ada kehidupan yang mungkin terselamatkan, ada semangat yang kembali menyala.
Kembali ke Kehidupan dua minggu setelah bencana, situasi di Desa Langit Biru perlahan mulai membaik. Meskipun banyak rumah yang hancur, para korban mulai kembali menata hidup mereka dengan bantuan dari berbagai pihak, termasuk Palang Merah. Bantuan internasional juga mulai berdatangan, membawa harapan baru bagi para korban.
Fajar, yang kini harus bersiap untuk misi berikutnya, merasakan kepuasan yang mendalam. Bukan karena ia menjadi pahlawan, tapi karena ia bisa berada di sana untuk membantu mereka yang tak berdaya. Dalam hatinya, ia selalu percaya bahwa Palang Merah bukan hanya tentang organisasi, tetapi tentang jiwa kemanusiaan yang selalu ada untuk menolong.
Saat ia melangkah kembali ke markas, Fajar berjanji pada dirinya sendiri bahwa selama ia masih bisa berdiri, ia akan terus berjuang di garis depan kemanusiaan. Setiap jejak yang ia tinggalkan, setiap bantuan yang ia berikan, adalah untuk mereka yang terjatuh, agar mereka tahu bahwa mereka tidak pernah sendiri.
Epilog: Semangat yang Tak Pernah Padam
Bagi Fajar, bencana adalah panggilan jiwa. Setiap hari, ia melihat dunia dari sisi yang berbeda—bukan sebagai tempat yang penuh kerapuhan, tetapi sebagai kesempatan untuk memberi, untuk hadir, dan untuk menjadi cahaya di tengah kegelapan. Kepalangmerahan bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa, tetapi juga tentang menyembuhkan hati, menghidupkan harapan, dan memulihkan dunia satu langkah kecil demi langkah kecil. Cerita ini menggambarkan perjalanan emosional dan fisik seorang relawan Palang Merah yang didorong oleh tragedi pribadinya untuk membantu sesama. Dengan fokus pada nilai-nilai kemanusiaan, cerita ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang pentingnya kehadiran dan bantuan dalam menghadapi bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H