Mohon tunggu...
nur muhammad firmanda
nur muhammad firmanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi saya bermusik dan saya suka dengan hal baru

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi di Balik Putusan Majelis Kehormatan MK Nomor 90/2023

15 Desember 2023   20:23 Diperbarui: 15 Desember 2023   20:36 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 22 Oktober 2023, Majalah Tempo menerbitkan laporan yang mengungkap lobi dan intervensi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terhadap hakim konstitusi lain. Laporan tersebut membawa dampak besar terhadap proses politik di Indonesia, khususnya terkait gugatan Pasal 169 huruf q UU Pemilu. 

Dalam putusan MK Nomor 90/2023, lima dari sembilan hakim konstitusi mengabulkan gugatan tersebut, dengan menambahkan frasa yang sebelumnya tidak ada, yakni persyaratan pernah terpilih dalam pemilihan kepala daerah. Perubahan bunyi pasal tersebut menciptakan celah hukum yang membuat Wali Kota Solo, Gibran Rakabumig Raka, memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden, meskipun usianya baru 36 tahun. Gibran, yang merupakan anak sulung dari Presiden Joko Widodo dan keponakan Anwar Usman, menjadi figur kunci dalam putusan kontroversial ini.

Setelah keputusan Nomor 90/2023, Partai Golkar mendukungnya sebagai calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto, dan Presiden Jokowi memberikan restu untuk pencalonan anaknya. Namun, laporan Tempo ini tidak hanya menggambarkan dinamika politik biasa. 

Sebagai hasil dari putusan tersebut, muncul ketidakpuasan dan kecurigaan terhadap proses pengambilan keputusan di MK. Liputan majalah tersebut menjadi landasan bagi gugatan yang mengarah pada pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 23 Oktober 2023.

Dilansir dari mkri.id bahwa MKMK, yang dipimpin oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, bersama hakim konstitusi Wahiduddin Adams dan ahli hukum Bintan R. Saragih, ditugaskan untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan Anwar Usman dan hakim konstitusi lainnya. Proses pemeriksaan dilakukan terhadap Anwar Usman dan panitera sidang yang terlibat dalam putusan Nomor 90/2023. 

Pada proses pemeriksaan, MKMK menyimpulkan bahwa Anwar Usman terbukti bersalah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik hakim. Selain terungkapnya intervensi kekuasaan, status Anwar sebagai adik ipar Presiden Joko Widodo dan paman Gibran Rakabuming Raka dinilai melanggar kode etik dan menciptakan konflik kepentingan. Hasil dari pemeriksaan ini adalah penghentian Anwar Usman dari jabatan Ketua MK (Wicaksono, 2023).

Keputusan MKMK membawa dampak yang signifikan pada peta politik Indonesia. Meskipun putusan tersebut tidak membatalkan syarat calon presiden dan wakil presiden yang telah diubah dalam Pasal 169, namun menunjukkan adanya cacat formil dalam putusan MK. Hal ini mendorong munculnya setidaknya empat gugatan tambahan ke MK untuk menguji kembali perubahan pada Pasal 169. 

Jika gugatan tersebut diterima, maka Gibran Rakabumig Raka berpotensi kehilangan kelayakan sebagai calon wakil presiden, dan Presiden Jokowi bersama keluarganya harus mencari strategi baru untuk mempertahankan kekuasaannya, hal ini dilansir juga pada halaman mkri.id (Wicaksono, 2023). Kontroversi ini menciptakan gelombang diskusi di masyarakat tentang integritas dan independensi lembaga peradilan, khususnya MK. MK, sebagai lembaga yang seharusnya menjaga keadilan dan kebenaran, harus berurusan dengan krisis kepercayaan yang melibatkan salah satu pemimpin tertingginya. Pemeriksaan oleh MKMK telah membuka tabir masalah internal di lembaga tersebut, mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran etika dan konflik kepentingan yang dapat merongrong fondasi kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

Situasi ini menciptakan tantangan besar bagi MK untuk memulihkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Pemilihan kepala daerah dan pemilu yang adil merupakan elemen kunci dalam membangun demokrasi yang kuat. Oleh karena itu, transparansi, akuntabilitas, dan independensi Mahkamah Konstitusi menjadi krusial dalam menjaga integritas proses politik di Indonesia. Kontroversi ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara politik dan hukum, di mana keputusan hukum dapat menjadi instrumen politik yang kuat. Masyarakat dan pemangku kepentingan harus terus memantau dan memperjuangkan keadilan serta integritas dalam sistem peradilan demi menjaga demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

Kontroversi dibalik seputar putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 90/2023 mencerminkan kompleksitas hubungan antara politik dan lembaga peradilan di Indonesia. Kasus ini, yang bermula dari lobi dan intervensi Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman terhadap hakim konstitusi lainnya, telah menimbulkan polemik yang merambah ke ranah politik, hukum, dan etika. Keputusan ini tidak hanya mengejutkan publik tetapi juga menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan masyarakat dan politisi. Dengan Partai Golkar mendukung Gibran sebagai calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto, dan Presiden Jokowi memberikan restu untuk pencalonan anaknya, atmosfer politik menjadi semakin panas. Pada intinya, putusan MK mengubah dinamika politik nasional dan memicu pertanyaan tentang independensi dan integritas lembaga peradilan.

Namun, kejanggalan ini tidak luput dari perhatian publik. Dalam laporannya, Majalah Tempo menciptakan dasar untuk gugatan yang kemudian mengarah pada pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). MKMK, yang dibentuk pada 23 Oktober 2023, memiliki tugas utama untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan Anwar Usman dan hakim konstitusi lainnya. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK, memimpin MKMK yang terdiri dari hakim konstitusi Wahiduddin Adams dan ahli hukum Bintan R. Saragih. Proses pemeriksaan dilakukan terhadap Anwar Usman dan panitera sidang yang terlibat dalam putusan Nomor 90/2023. Hasil dari pemeriksaan ini mencatat bahwa Anwar Usman terbukti bersalah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik hakim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun