Kalau ada yang bertanya bagaimana rasanya jika diberi hadiah HP baru dengan fitur yang paling canggih? Tentu saja hampir sebagian besar orang merasa gembira. Tapi, kalau ada yang bertanya, bagaimana rasanya ketika pemerintah memberikan kurikulum 2013 yang menawarkan konsep pendidikan abad modern? Jawabannya mungkin beragam.
Perubahan kurikulum lama menjadi Kurikulum 2013, dapat dianalogikan seperti mengganti hp dengan lompatan teknologi yang jauh. Coba bayangkan, Â jika bertahun-tahun menggunakan HP generasi 2000-an yang hanya bisa telpon dan SMS, tiba-tiba diganti dengan HP generasi 2014 dengan berbagai aplikasi baru yang sebelumnya tidak ada? Â Sudah pasti akan kebingungan. Begitupula yang terjadi dengan kurikulum 2013. Kurikulum ini menawarkan banyak hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.
Indonesia sering melakukan pergantian kurikulum. Namun, inti pengajarannya tetap sama. Guru mengajar, murid mendengarkan. Dalam satu semester murid menjalankan berbagai macam test. Test dilakukan untuk menguji kemampuan kognitif siswa. Penilaian siswa dilakukan secara kuantitatif. Ketika melakukan test, siswa dituntut untuk banyak menghapal daripada melakukan presentasi  suatu karya. Model pendidikan seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun dan bisa dikatakan sangat kuno.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum modern. Menurut saya, kurikulum ini benar-benar menerapkan konsep pendidikan modern. Sebenarnya bagaimana sih konsep pendidikan modern itu?
Pertama, guru tidak berceramah, tapi memicu siswa untuk berpikir. Misalkan, guru ingin menjelaskan tentang bunyi disebabkan oleh getaran. Guru tidak boleh mengatakan bahwa bunyi terjadi karena getaran, bla-bla-bla. Guru hanya boleh memberi petunjuk. Guru melakukan tepuk tangan dan bertanya kepada siswa apa yang baru kalian dengar? Kira-kira kenapa bisa ada bunyi? Mendapat pertanyaan tersebut, anak akan berpikir kenapa? Kemudian guru melakukan percobaan demi percobaan untuk bertanya lagi kepada siswa. Begitu seterusnya hingga akhirnya siswa mengambil kesimpulan sendiri mengenai hubungan bunyi dan getaran.
Kedua, guru diharapkan untuk memberikan tugas yang dapat dipresentasikan di depan kelas daripada menyuruh siswa mengerjakan berlembar-lembar lks. Tujuan tugas ini jelas, yaitu agar siswa menggali ilmu lebih dalam, mampu menciptakan karya dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik.
Ketiga, guru tidak menilai dengan angka, tapi memberi masukan kepada siswa. Pada kurikulum sebelumnya, jika siswa diberi tugas seperti menyusun kliping, maka kliping itu dinilai dengan angka. Siapa yang klipingnya tebal, angkanya juga tebal alias bernilai nyaris sempurna. Tapi tidak demikian dengan konsep pendidikan modern. Guru harus berkomentar tentang kelebihan dan kekurangan seorang siswa dalam tugas kliping tersebut. Harapannya, jika suatu saat mendapatkan tugas yang sama, maka siswa sudah memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyusun kliping, sehingga kliping yang dibuat tidak hanya lengkap, tapi enak dilihat dan menarik.
Keempat, soal ujian yang memberi peluang kepada siswa untuk berargumen. Pada kurikulum sebelumnya, siswa sering diberi model soal tertutup seperti "Terdiri dari apa sajakah makanan sehat itu?" Model soal seperti ini membuat siswa hanya patuh dengan hal yang tertulis dibuku. Siswa tidak mampu mengungkapkan pendapatnya dengan baik. Akan lebih baik jika siswa diberi soal seperti "Kamu diberikan dua piring makanan. Pada piring A tersaji hidangan nasi, bihun dan kol. Piring B tersaji hidangan risol berisi wortel dan telur. Manakah yang akan kamu makan agar sesuai dengan konsep makanan sehat. Berikan alasanmu?"
Hasil dari model pendidikan kuno hanya menghasilkan orang-orang yang pasif. Orang-orang dari hasil pendidikan ini hanya akan melakukan sesuatu bila dirinya diperintah. Mereka hanya mampu menjadi pengguna daripada pencipta suatu karya. Mereka enggan berusaha mencari tahu akan suatu hal.
Ketika saya aktif mengajar di lembaga bimbel, saya sering gemas dengan keadaan siswa Indonesia. Mereka cenderung diam, takut melakukan kesalahan dan pasrah terhadap apa yang saya ajarkan. Jika saya ajak diskusi, mereka hanya mengangguk kebingungan. Yang lebih memprihatinkan lagi, anak-anak yang juara di sekolah unggulan juga mempunyai sikap yang sama.
Kegemasan saya bukan tanpa alasan. Sebelum mengajar di bimbel, saya pernah menjadi guru pengganti di suatu sekolah berkurikulum internasional selama hampir satu semester. Saya begitu terkenang dengan suasana belajar disini. Murid-murid berlomba untuk mengungkapkan pendapatnya walaupun apa yang mereka ungkapkan salah. Tapi bagi mereka, mengungkapkan pendapat merupakan hal yang utama. Mereka juga mampu membuat suatu karya. Walaupun karya tersebut gagal, mereka mampu menganalisis kesalahan mereka.