Mohon tunggu...
Nur Fatma Juniarti
Nur Fatma Juniarti Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dua anak yang pernah berkecimpung di dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fasilitas Tidak Selalu Sebanding dengan Kualitas

16 September 2014   06:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:34 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berdasarkan peringkat pisa, pendidikan Indonesia mempunyai 'prestasi' yang luar biasa. Tidak tanggung tanggung, Indonesia menyabet juara 2 dari 65 negara peserta Pisa. Sayangnya 'prestasi' tersebut harus dihitung dari bawah.
Mungkin banyak yang berpikir seandainya test tersebut hanya dilakukan di kota-kota besar di Indonesia, pasti peringkat Indonesia lebih baik. Hal yang wajar jika banyak yang berpikir demikian. Faktanya, di kota besar banyak terdapat sekolah unggulan dengan fasilitas lengkap. Sayangnya untuk masuk ke sekolah ini mata bisa dibuat tidak berkedip.
Sekolah dengan fasilitas lengkap adalah dambaan semua orang tua. Hampir semua orang berpikir bahwa dengan fasilitas yang baik, kegiatan belajar mengajar lancar, anak menjadi berprestasi dan masa depan cemerlang. Tapi, benarkah demikian?
Saya pernah membandingkan kemampuan murid-murid di sekolah asing dengan kemampuan murid-murid bimbel yang bersekolah di sekolah nasional plus. Jangan terpesona dulu dengan kata-kata sekolah asing. Walaupun, sekolah tempat saya mengajar dulu adalah sekolah asing yang menggunakan kurikulum Inggris, sekolah ini bukanlah sekolah mewah dengan fasilitas lengkap. Jangan berharap melihat komputer generasi terbaru di sekolah ini, komputer yang ada hanyalah komputer generasi 15 tahun sebelumnya. Alat-alat penunjang belajar pun banyak yang rusak. Buku panduan juga tidak ada. Anak-anak disuruh mencari buku panduan sendiri, tapi hanya segelintir orang yang benar-benar memiliki buku tersebut. Tidak perlu terkejut dengan kondisi seperti itu. Sekolah tempat saya mengajar dulu adalah sekolah negara dunia ketiga. Negara tersebut perekonomiannya tidak lebih baik dari Indonesia. Walaupun demikian, mereka cukup 'nekat' untuk menyelenggarakan kurikulum Inggris.

Hal yang menarik yang saya lihat, kualitas anak-anak tersebut cukup baik dibandingkan dengan anak-anak Indonesia. Mereka sangat aktif, kreatif dan berpikir kritis. Jika saya mengajukan pertanyaan, mereka ramai-ramai tunjuk tangan. Mereka tidak peduli apakah jawaban mereka benar atau salah. Hal yang penting, mereka dapat menyampaikan pendapatnya. Jika saya berdiskusi dengan mereka, suasana diskusi lebih hidup. Mereka juga memiliki ide-ide jika diberi tugas berupa project.
Sungguh bertolak belakang dengan apa yang terjadi dengan anak Indonesia, bahkan dengan juara kelas sekalipun. Anak Indonesia cenderung pasif. Bila diberi pertanyaan yang membutuhkan argumen, mereka selalu menjawab "Bu, gak pernah diajarin di sekolah". Mereka tidak memiliki inisiatif dalam belajar. Mereka hanya melakukan apa yang diperintahkan guru.
Saya beberapa kali memberi tantangan kepada anak-anak Indonesia. Harapan saya adalah mereka bisa berdiskusi dengan temannya bahkan dengan saya juga. Tapi harapan sungguh jauh dari kenyataan. Mereka memilih untuk menyerah. Suasana kelas pun menjadi 'mati'.
Apakah yang membedakan sekolah asing dengan sekolah Indonesia? Kenapa anak-anak sekolah asing bisa aktif dan kritis?
Perbedaan utama terletak pada proses belajar. Sekolah asing jarang melakukan latihan soal. Mereka lebih sering melakukan diskusi. Jika anak-anak Indonesia mengerjakan lks untuk menjawab pertanyaan tertutup, anak asing justru berdiskusi untuk membahas pertanyaan terbuka.
Ambil contoh saja pada pelajaran sejarah. Anak-anak Indonesia lebih mengenal Diponegoro karena peperangan yang terjadi pada 'waktu maghrib'. Kenapa? Karena memang mereka sering mendapatkan pertanyaan "Kapan perang Diponegoro berlangsung?".  Tapi apakah mereka mengetahui seperti apa karakter diponegoro? Jika Diponegoro tidak pernah dilahirkan, apa yang akan terjadi?
Anak Indonesia sangat jarang mendapatkan pertanyaan terbuka. Pada pertanyaan terbuka, jawaban setiap anak akan berbeda. Perbedaan ini sangat baik untuk didiskusikan. Dalam kelas diskusi, bisa saja seorang anak tidak setuju dengan pendapat teman-temannya, namun anak tersebut harus memberikan argumennya. Kelas yang diisi dengan diskusi akan melatih anak untuk berpikir, bernalar, dan berargumen. Mereka juga bisa melakukan transfer ilmu dari pikiran teman-teman mereka. Walaupun tidak menggunakan buku panduan, ilmu mereka tetap bertambah.
Saya tidak mengatakan bahwa anak diperbolehkan untuk tidak memiliki buku. Namun, jika buku merupakan barang 'mewah', bukankah masih ada cara lain untuk belajar? Bukankah berdiskusi juga merupakan suatu proses pembelajaran juga?
Selain diskusi, anak juga terbiasa menulis karangan. Untuk menulis karangan dengan baik, anak harus memiliki wawasan yang luas. Tapi bagaimana jika tidak ada fasilitas untuk menambah wawasan? Di situlah peran guru. Siswa harus menggali informasi dari guru mereka. Para siswa melakukan wawancara dengan guru mereka untuk mendapatkan pengetahuan.
Saya pernah mencoba teknik ini dengan anak Indonesia. Dalam waktu 30 menit, alat tulis tidak juga bergerak sedikitpun. Saya bertanya kepada mereka tentang apa yang ingin dituliskan? Namun mereka kebingungan. Untuk bertanya kepada saya pun, mereka juga terlihat bingung.
Hal yang paling luar biasa bagi saya adalah project yang harus dikerjakan para siswa. Mereka tampak bahu membahu untuk menyelesaikan project. Mereka selalu berusaha untuk bisa bekerja sama dalam team. Diskusi selalu mereka lakukan untuk menghasilkan 'Mahakarya' dari project tersebut. Kadang, 'Mahakarya' tersebut justru diperoleh dari sesuatu yang sederhana.
Ternyata, dari pengamatan saya, proses belajar sangat berpengaruh besar dengan kualitas anak didik. Anak Indonesia memang tidak terbiasa aktif dalam mencari ilmu. Mereka sudah terbiasa untuk diam, mendengarkan guru dan mengerjakan soal. Ruang diskusi tertutup rapat. Mereka hanya diperbolehkan menjawab seperti yang tertera pada buku.
Proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh anak Indonesia hanya menghasilkan anak yang pasif. Terbukti, bahwa seorang juara kelas yang mendapatkan fasilitas mewah sekalipun, tidak mampu menjadi seorang pemikir. Walaupun mereka memiliki nilai tinggi pada saat ujian, nilai tersebut diraih karena mereka mengikuti apa yang tertera pada buku. Ide-ide dalam berkarya sama sekali tidak dilihat.
Model pembelajaran seperti ini hanya akan menciptakan anak 'manja'. Kelak, ketika anak selesai menempuh jenjang pendidikan, mereka akan puas dengan ilmu yang mereka miliki. Mereka akan berhenti mencari ilmu. Anak-anak dari proses pembelajaran seperti ini, hanya akan menjadi follower dan cuma mampu menggunakan hasil inovasi orang lain.
Sebaliknya, jika anak terbiasa aktif dalam mencari ilmu, maka ia akan haus dengan ilmu pengetahuan. Mereka tidak akan berhenti dalam mencari ilmu. Proses pembelajaran di sekolah asing akan menghasilkan para pemikir hebat. Saya yakin, di masa depan anak-anak ini akan menjadi trend setter dan mampu menciptakan inovasi baru.
Apakah anak-anak Indonesia mampu menjadi pemikir hebat? Sangat mampu. Saya yakin bahwa Anak Indonesia seharusnya bisa lebih baik dari anak-anak sekolah asing tempat saya mengajar dulu. Apalagi, saat ini pemerintah sudah membuka krannya melalui kurikulum 2013. Syarat menciptakan pemikir hebat pada anak Indonesia hanya satu. Ubah proses belajar mengajar!


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun