Kebayoran, itu adalah hal yang pertama ku ingat ketika kita bertemu, sebuah halte Transjakarta yang beroperasi di koridor 8, halte ini juga terintegras dengan moda transportasi lain seperti KRL dan koridor 13, atau bisa di sebut dengan halte transit, di situ lah aku transit untuk bertemu dengan mu di awal bulan Juni untuk pertama kalinya, aku sangat tidak ingin berekspektasi apapun dengan pertemuan ini, karena terlalu dini dan kita baru kenal sekitar 2-3 hari jadi aku tetap menurunkan ekspektasiku, sampai tiba di halte tanah kusir, Jakarta Selatan, aku duduk menunggumu, tidak sampai 5 menit aku melihatmu, di luar seperti orang yang kebingungan, wanita bertinggi 150 cm seorang guru les bahasa jerman, terlihat cantik dan sedikit imut, aku merasakan sesuatu yang berbeda, kau seperti orang yang ku kenal sebelumnya tapi kau lebih baik, aku yang sering bercerita tentang hal-hal yang lucu, sekiranya demi sedikit bisa mengobrol walaupun canggung tetap ada, Monas menjadi tempat persinggahan pertama ketika kita bisa bercerita satu sama lainnya, disitulah aku mulai merasakan sesuatu hal yang membuat jantungku berdebar-debar, setelah pertemuan pertama itu, aku kira kita hanya sampai disitu, ternyata masih ada lembaran lembaran baru yang tertulis dalam alur hidup, walaupun Indonesia kalah lawan Irak, bukan berarti aku juga bisa menang, menghadapimu, setelah pertemuan kita di hari Jumat, aku tidak bisa berkata-kata apa-apa, hanya pasrah dengan kenyataan tapi bagiku sesuatu keajaiban selalu akan muncul ketika kita saling berharap, kemudian aku menemukan rutinitas yang baru dimana aku berkelana mengeliling kota jakarta demi uang yang sekiranya cukup untuk jajan sebulan, 2 bulan aku mencoba untuk tidak berharap denganmu, dan saat Agustus tiba, kau juga datang lagi, kegembiraan itu kembali tapi ketakutan itu juga tetap masih ada, beberapa waktu kita lewati, banyak hal yang baru, aku masih ingat ketika aku mengajarimu mengendarai motor, saat senja sedang memerah, pertama kali aku merasakan tangan mungilmu, sesuai dengan namamu, tawa dalam perjalanan itu membuatku terlalu nyaman, tapi kau yang baru terluka belum siap dengan sesuatu yang jelas, tapi aku juga sadar, kalau aku masih belum menjadi siapa-siapa, setelah kau pergi lagi, aku kira itu selesai, tapi aku terus berjuang demi mengejarmu, aku mulai belajar bahasa Belanda, memang agak sedikit berbeda dengan Jerman, sudah hampir 3 bulan aku belajar bahasa Belanda, tapi kau tetap masih mengarungi lautan yang luas, tapi aku tetap sabar aku hanya menunggu walaupun tuhan bilang "sesuatu yang telah dijauhkan jangan pernah berharap untuk kembali" aku hanya bisa menahan rasa sabar sampai suatu saat kamu akan kembali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H