[caption id="" align="aligncenter" width="583" caption="SATU contoh model sanitasi rumah tangga. sumber foto / importdistributie.wordpress"][/caption] LANGKAH untuk melakukan perubahan harus dilalui dengan jalan terjal. Tak mudah, meski tujuannya sangat baik : demi kemaslahatan seluruh masyarakat. Aneka adangan menjadi hal lumrah. Itulah yang menjadi pilihan bagi Juweni, Cahayani, Nur Khasanah, Saraswati, juga Triana Wulandari. Nama-nama itu bisa dibilang sosok pengubah yang membuat area sekitar mereka menjadi lebih baik lagi, terutama dari sisi sanitasi lingkungan. Bagaimana tidak, sebelum mereka datang dan memulai kampanye kesehatan lingkungan, apa yang mereka lihat di depan mata adalah ‘seonggok’ daerah yang tinggal menunggu waktu untuk menjadi sarang penyakit. Yup, deretan nama tersebut adalah barisan bidan desa yang rela bergerak aktif, menembus batas kewajibannya sebagai pelayan kesehatan bagi ibu dan anak. Apa yang mereka kerjakan menjadi bagian dari kreasi hebat, ketika menghadapi sebuah kondisi tak ideal di tengah pekerjaan wajib. Juweni misalnya, seorang bidan yang bekerja di sebuah desa di pelosok pegunungan di perbatasan Kabupaten Pekalongan dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Saat kali pertama datang pada awal tahun 2005-an, ia dihadapkan pada kenyataan pahit : masyarakat yang nyaris tak peduli pada kesehatan lingkungan di sekitar mereka. Kehidupan tradisional masih ‘dipelihata’, meski di luar sana ragam corak modern sudah menjadi ciri khas. Bayangkan saja, ‘boro-boro’ memeriksakan kondisi kesehatan diri sendiri, warga justru mengundang penyakit makin dekat ke lingkungan rumah mereka. Contoh nyata, nyaris tak ada fasilitas untuk buang air besar. Mereka masih mengandalkan ‘kearifan alam’ yang memberikan ruang begitu besar untuk sarana buang hajat. Ya, kebun atau pekarangan belakang rumah menjadi tempat bagi mereka untuk buang air besar! Tak hanya Juweni, pengalaman serupa juga dialami Cahayani, seorang bidan yang bertugas di Pulau Lasondre, Nias Selatan. Kali pertama menjejakkan khaki, ia langsung disuguhi pemandangan tak sedap, terutama di beberapa titik yang ada di area pinggir pantai. Kebun masih menjadi sarana yang mungkin saja dianggap nyaman oleh beberapa warga untuk buang air besar. Nur Khasanah, Saraswati dan Triana juga mengalami kondisi serupa saat masuk ke wilayah yang pertama kali mereka datangi sebagai area tugas dengan status bidan desa. Mereka menyadari kondisi sanitasi menjadi satu masalah besar, selain kekurangan gizi bagi balita dan tak ada ruang pemeriksaan bagi ibu hamil. "Kalo ingin memilih, setiap orang pasti ingin bertugas di daerah perkotaan. Tapi kalau semua berpikir ke arah itu, siapa yang akan memerhatikan daerah tertinggal yang sepi dan susah aksesnya. Apalagi di wilayah kerja saya, sanitasi menjadi masalah dan kebiasaan yang tak boleh disepelekan,” itu kata Maria Marta Sori, yang bertugas di Desa Liwo, Mananga, Flores Timur. Seperti menjadi kesepakatan, deretan bidan-bidan desa nan energik tersebut mengumpulkan segenap konsentrasi, berpikir keras dan mulai merencanakan sebuah langkah besar. Bukan tugas mudah tentunya, karena yang mereka hadapi adalah kebiasaan dan tradisi yang mengakar. “Mereka berpikir, selama ini ‘fine-fine’ saja dengan apa yang mereka lakukan. Buktinya, mereka masih bisa sehat sejak kecil. Sebuah alasan yang memang ada faktanya, tapi saya pikir tak sesederhana itu,” kata Cahayani. Akhirnya, seperti apa yang dilakukan Juweni, ia melakukan pendekatan dengan memberi contoh terlebih dulu. Caranya pun terbilang unik, kalau boleh dibilang berani. Setelah melakukan survei di beberapa titik di area desa tempatnya bertugas, ia memilih satu area. Uniknya, ia menentukan lokasi itu, yang berdekatan dengan sebuah kebun yang biasa digunakan pemiliknya untuk membuah hajat besar. Berbekal empat penduduk desa yang diminta membantu, ia mulai mengeduk tempat pembuangan kotoran besar, yang disebut ‘jumbleng’ atau jamban. Cukup dalam, sekitar lima meter, lalu ditutup dengan susunan beton. Tak jauh dari jamban tersebut, ia membangun kakus sederhana, dengan bahan dari bambu. Tak lupa, ia membuat saluran pembuangan, plus kakus bermodel jongkok. Ia melengkapi dengan meminta aliran air bersih melalui selang untuk penyedia pembersih setelah buah hajat besar, atau kecil sekalipun. Hari berikutnya, Juweni langsung memberi contoh dengan menggunakan fasilitas kakus sederhana yang dibuatnya. Awalnya tak ada reaksi, karena memang belum tersebar. Namun di hari ketiga, sudah mulai ada yang menanyakan apa yang sedang dilakukan bu bidan tersebut. “Nah, begitu ada yang tanya, saya tak ingin kehilangan momen tersebut. Saya langsung bawa saja ke lokasi, dan menjelaskan apa yang sebenarnya saya lakukan, dan itu bisa dilakukan warga sekitar. Beruntung, yang nanya akhirnya bisa saya bujuk untuk meniru model kakus yang saya buat di rumahnya,” ungkap Juweni. Tak membuang peluang, dalam sehari ‘piranti percobaan’ tersebut jadi. Dan mulailah kabar tersebut menyebar ke semua warga kalau ada produk baru yang membuat semuanya menjadi serba simpel, tanpa harus berlari ke arah kebun terlebih dulu. Pelan namun pasti, semua rumah warga kini sudah memiliki fasilitas jamban yang lebih memadai. Meski terlihat lancar, namun kerikil-kerikil tajam tetap kadangkala menghampiri perjuangan Juweni. Kerap ia mendapat teror dan isu yang tak masuk akal, karena dianggap mengubah tradisi yang sudah puluhan tahun menjadi ‘ciri khas’ desa tersebut. “Saya harus sabar, dan karena sudah menjadi tekad, saya bisa melaluinya. Tentu saja saya tak melupakan tugas utama, yakni menjaga kesehatan ibu dan anak dengan ragam saluran,” ujarnya. Justru kala berinteraksi dengan ibu-ibu, ia menemukan cara baru untuk mempercepat proses perbaikan sistem guna menjadikan sanitasi di lingkungan mereka menjadi lebih baik. Di sela-selapemeriksaan, ia selalu menyelipkan pesan agar suami-suami mereka mau membangun jamban dan kakus. Meski terdengar aneh, namun lama-kelamaan ada juga yang berhasil merayu pasangan mereka. Hal itu pula yang membuat dirinya makin bersemangat untuk menggunakan jalan lain agar sistem sanitasi bisa berjalan lebih baik lagi. Tak berbeda jauh, Maria dan Cahayani juga menggunakan pendekatan emosional sebagai sesama wanita yang mengnginkan kondisi sehat di level sanitasi. Satu contoh yang disebutkan Maria adalah terkait kesehatan kelamin. Ia pun menggunakan semacam ancaman, terutama kondisi kotor bisa menyebabkan kanker serviks. Cara itu terbukti ampuh, karena mereka bisa langsung memberi pengaruh besar. Rasa takut membuat kalangan ibu-ibu meminta suami-suami mereka agar membuatkan jamban dan kakus yang memadai. Setelah itu, barulah ia berani melangkah untuk merealisasikan ajak untuk memperhatikan sisi sanitas lainnya. Beberapa hal lain yang dilakukan Cahayani terkait pemeliharaan sanitasi adalah mengajak masyarakat untuk selalu memperhatikan kesehatan badan, terutama yang melalui mulut. Alhasil, ia mengajak warga untuk selalu berusaha cuci tangan menggunakan sabun plus air bersih yang mengalir. Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu ia pun sudah berusaha untuk memberikan informasi tentang pengelolaan air minum dan makan rumah tangga untuk memperbaiki dan menjaga kualitas air dari sumber air yang akan digunakan untuk air minum, serta untuk menerapkan prinsip higiene sanitasi pangan dalam proses pengelolaan makanan di rumah warga. Tak hanya Cahayani, para bidan tersebut juga memberikan kreasi tersendiri untuk memastikan adanya proses serta prilaku pengamanan dan penanganan sampah rumah tangga. Hal sederhana adalah membuat tempat sampah di sekitar rumah dan beberapa titik di jalan desa. Ke depannya, kata Triana, ia ingin melakukan terobosan dengan pengolahan berbasis mengurangi, memakai ulang, dan mendaur ulang. “Tugas saya memang bidan, tapi setidaknya kalau memang ada kesempatan untuk memberikan jalan menambah penerimaan ekonomi warga, tak ada masalah-kan,” tukasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H