Abstrak
Perkembangan budaya konsumerisme di Indonesia telah meluas sejak era reformasi dan globalisasi. Konsumerisme mendorong individu untuk membeli lebih banyak barang dan jasa, terutama dengan akses informasi yang semakin mudah, kemajuan teknologi, dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di Indonesia, konsumerisme tercermin dari pusat perbelanjaan modern, iklan yang agresif, dan promosi produk menarik yang memengaruhi gaya hidup masyarakat. Dampak konsumerisme terhadap preferensi terhadap produk lokal versus impor kompleks. Meskipun konsumerisme bisa meningkatkan permintaan produk lokal, masyarakat sering lebih memilih produk impor yang dianggap lebih berkualitas atau bergengsi. Ini menantang produk lokal untuk bersaing, namun juga mendorong kesadaran akan pentingnya mendukung produk lokal di kalangan generasi muda yang peduli terhadap keberlanjutan dan identitas budaya. Gerakan cinta produk lokal semakin gencar, mendorong produsen lokal untuk meningkatkan kualitas dan inovasi produk mereka.
Abstract
The development of consumerism culture in Indonesia has expanded since the era of reform and globalization. Consumerism encourages individuals to buy more goods and services, especially with easier access to information, technological advancements, and rapid economic growth. In Indonesia, consumerism is reflected in modern shopping malls, aggressive advertising, and the promotion of attractive products that affect people's lifestyles. Although consumerism can increase the demand for local products, people often prefer imported products that are considered of higher quality or prestigious. This challenges local products to compete, but also encourages awareness of the importance of supporting local products among the younger generation who care about sustainability and cultural identity. The movement of local product love is increasingly intense, encouraging local producers to improve the quality and innovation of their products.
- PENDAHULUAN
Perilaku konsumtif menurut Sumartono (2002: 117) merupakan tindakan memakai produk secara tidak tuntas dimana sebuah produk yang dipakai belum habis, tetapi orang tersebut menggunakan produk dengan jenis yang sama namun berbeda merek. Konsumerisme dilatarbelakangi oleh munculnya era kapitalisme yang diungkapkan oleh Karl Marx. Kapitalisme didefinisikan oleh Marx sebagai alat produksi di mana kepemilikan pribadi digunakan sebagai alat produksi. Secara umum pengertian pangan bermula dari kenyataan sosial bahwa masyarakat ingin bebas dalam hidup. Dari sudut pandang ekonomi, kondisi nyaman tersebut terdapat pada masyarakat mapan yang ditandai dengan banyaknya barang-barang manufaktur yang dijual dengan sistem tunai atau kredit, bahkan dengan pembayaran di tempat seperti kartu debit atau kartu kredit. Fenomena tersebut muncul sejak era ekonomi global dengan banyaknya pembangunan mal, hipermarket dan supermarket, di berbagai kota besar di dunia, seperti Las Vegas (Amerika Serikat), Paris (Perancis) dan lain-lain, bahkan kota-kota besar di Indonesia sebagai dampak dari budaya konsumerisme yang dikembangkan oleh ekonomi kapitalis barat dengan menjadikan konsumsi sebagai faktor produksi (Fadhilah, 2018).
Disadari atau tidak, masyarakat saat ini bersifat konsumtif karena masyarakat berbelanja di supermarket seperti department store, supermarket, mini market, selain untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, dilihat dari cara berpakaian seseorang, telepon seluler yang digunakan, dan mobil yang dikendarainya dikatakan menunjukkan status sosial tertentu. Selain itu, hampir semua orang menyukai makanan cepat saji (yang dianggap sangat otentik) makanan Indonesia. Barang-barang elektronik, fast food, pakaian branded dan lain-lain kini sangat diminati dan tidak bisa ditinggalkan. Masyarakat tidak lagi membeli suatu barang berdasarkan skala prioritas kebutuhan dan kegunaan, tetapi lebih didasarkan pada gengsi, prestise dan gaya hidup (Rachel & Rangkuty, 2020).
Produk impor sering kali lebih diminati karena dianggap memiliki kualitas yang lebih baik, desain yang lebih menarik, atau merek yang lebih terkenal. Masyarakat sering kali terpengaruh oleh iklan dan promosi yang menonjolkan keunggulan produk impor, sehingga menciptakan persepsi bahwa barang-barang tersebut lebih bernilai. Hal ini dapat memperkuat budaya konsumtif, di mana konsumen merasa perlu untuk memiliki barang-barang tersebut untuk menunjukkan status sosial atau gaya hidup yang diinginkan. Di sisi lain, ada juga peningkatan kesadaran akan pentingnya mendukung produk lokal. Mencintai produk dalam negeri sering kali dihubungkan dengan rasa nasionalisme dan kebanggaan terhadap hasil karya lokal. Produk lokal dapat menawarkan kualitas yang setara atau bahkan lebih baik dibandingkan produk impor, serta memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal. Namun, meskipun ada dorongan untuk membeli produk lokal, budaya konsumtif yang kuat dapat membuat konsumen tetap memilih produk impor jika mereka merasa produk tersebut lebih memenuhi keinginan mereka.
Dari penjelasan diatas, Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana budaya konsumerisme yang berkembang di Indonesia mempengaruhi preferensi masyarakat terhadap produk lokal dan impor. Selain itu, untuk menilai dampak dari budaya konsumerisme terhadap ekonomi lokal di Indonesia. Dalam teori ekonomi, surplus barang manufaktur menyebabkan penjualan barang di bawah harga normal dengan sistem discount dan bonus yang mendorong konsumen untuk membeli tanpa pertimbangan. Masyarakat konsumen menciptakan nilai melalui barang konsumtif dan menjadikan konsumtif sebagai pusat aktivitas global. Meski pemborosan dianggap kesia-siaan secara moral, dalam masyarakat konsumen, pemborosan diartikan sebagai penyeimbang kesenjangan sosial antar kelas.
- METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini dengan menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah pendekatan yang mengandalkan pengumpulan dan analisis informasi dari berbagai sumber tertulis, seperti buku, artikel, jurnal, dan dokumen lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Diawali dengan mengidentifikasi topik atau masalah yang ingin diteliti. Selanjutnya, melakukan pencarian literatur yang berkaitan dengan topik tersebut. Sumber primer yang mencakup penelitian asli, data statistik, atau dokumen resmi, sedangkan sumber sekunder meliputi analisis, ulasan, dan interpretasi dari penelitian yang telah ada. Setelah mengumpulkan informasi, peneliti kemudian menganalisis dan mengorganisir data yang diperoleh. Analisis ini bertujuan untuk menemukan pola, hubungan, atau kesenjangan dalam literatur yang ada.
- PEMBAHASAN
Kebebasan yang ditawarkan budaya konsumerisme bukanlah kebebasan yang sesungguhnya, melainkan cara mengendalikan kehidupan masyarakat. Konsumsi adalah tempat dimulainya tumbuhnya budaya konsumerisme. Dengan sistem konsumsi ini, Masyarakat Indonesia akan memiliki penampilan yang sama sekali tidak diinginkan. Dalam hal ini koleksinya kuat dan terpadu, dan konsumsi juga bisa menjadi bagian yang tidak disadari. Tujuan dari konsumsi pun kini telah berubah, yang semula konsumsi dibuat untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, kini konsumsi telah menjadi fungsi untuk memenuhi kebutuhan dan menemukan jati diri manusia dengan konsumsi tersebut. Hal ini merupakan akibat dari adanya sistem hierarki ini. Di era globalisasi ini, salah satu hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki Masyarakat yang modern adalah dengan mengubah dan memperkuat mentalitas Masyarakat Indonesia. Masyarakat saat ini tidak dapat mengabaikan atau mencegah proses ini. Namun jika masyarakat mau mencari sisi positif dari proses penjualan, maka hal tersebut dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Dampak negatif dari sistem konsumen ini mampu mempengaruhi berbagai perilaku Masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sikap yang harus diambil adalah bersikap tegas dan rasional dalam menghadapi kemajuan era globalisasi yang semakin bekembang.
1. Perkembangan Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia dari Waktu Kewaktu