Kekerasan merupakan masalah sosial yang masih kerap terjadi di tengah masyarakat. Tindakan kekerasan, khususnya kekerasan fisik, tidak hanya menimbulkan penderitaan secara fisik, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis yang berat bagi korban maupun keluarganya. Dalam masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, upaya untuk menolak segala bentuk kekerasan menjadi hal yang sangat penting demi menciptakan lingkungan yang aman dan damai. Kasus kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan di Indonesia. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan anak, meningkat 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar kasus ini, yaitu sekitar 35%, terjadi dalam lingkungan keluarga. Banyak penelitian juga menemukan bahwa kekerasan sering kali dilakukan oleh orang dewasa terdekat yang seharusnya melindungi anak, seperti orang tua, guru, pengasuh, atau bahkan oleh sesama anak. Â
Â
  Menurut Dr. Indria Laksmi Gamayanti, Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), kekerasan terhadap anak dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi mayoritas pelaku adalah individu yang berada di sekitar anak. Gamayanti mengidentifikasi tiga bentuk kekerasan terhadap anak: fisik, emosional, dan seksual. Kekerasan fisik dan seksual sering kali disertai dengan kekerasan emosional, seperti kemarahan, kebencian, penghinaan, atau bentuk verbal lainnya. Sayangnya, bentuk kekerasan emosional ini sering tidak disadari oleh pelaku. Â
Â
  Sebagian besar pelaku kekerasan adalah orang tua yang tidak matang secara emosional atau yang memiliki gangguan kesehatan mental. Faktor-faktor seperti kesiapan mental, kondisi ekonomi, dan pengalaman kekerasan di masa kecil dapat memicu perilaku kekerasan. Gamayanti menekankan bahwa orang yang mengalami kekerasan sewaktu kecil cenderung berpotensi menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Trauma masa lalu sering kali membentuk perilaku destruktif yang diteruskan kepada generasi berikutnya. Â
Â
  Salah satu contoh nyata dari dampak buruk kekerasan fisik adalah kasus tragis pembunuhan Nia Kurnia Sari. Peristiwa ini mengguncang masyarakat karena menunjukkan betapa berbahayanya kekerasan yang tidak ditangani dengan baik. Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa kesadaran bersama untuk melawan kekerasan harus terus ditingkatkan, baik secara individu maupun kolektif. Â
Â
   Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan atau orang lain selama hidupnya. Pada SNPHAR 2018, 2 dari 3 anak laki-laki dan perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami salah satu kekerasal dalam hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual, atau emosional.
  Pelakunya paling sering adalah laki-laki. Berdasarkan hubungan yang ada antara korban dan pelaku, hubungan tertinggi adalah sebagai suami atau istri, pacar atau teman, orangtua, keluarga atau saudara, jenis kelamin lainnya, tetangga, majikan, dan rekan kerja.
  Usaha untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan masih menjadi tantangan besar yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Kekerasan fisik, salah satu bentuk kekerasan yang paling sering terjadi, memiliki dampak buruk yang luas, baik bagi korban secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Kasus pembunuhan Nia Kurnia Sari menjadi contoh nyata bagaimana kekerasan fisik dapat berujung pada tragedi yang merenggut nyawa dan meninggalkan luka mendalam bagi keluarga serta masyarakat yang turut merasakannya. Â