[caption id="attachment_200199" align="aligncenter" width="396" caption="Peta Indeks Resiko Bencana Gunung Api Sulut (sumber: BNPB)"][/caption]
“…orang Minahasa pergi naik pesawat ke Jakarta hanya untuk bercukur. Lalu, mereka pulang lagi.”
Itulah pameo yang berkembang pada medio 90-an di Minahasa. Bukan tanpa sebab, karena memang pada saat itu Minahasa berhasil mengalahkan Swiss dalam hal kesejahteraan masyarakatnya. Adalah Bernard Welley, salah seorang petani senior dan aktivis Forum Solidaritas Petani Cengkeh (FSPC), yang secara mencengangkan menyatakan jika pendapatan rata-rata seorang petani cengkeh dapat mencapai Rp 2.161.830 per bulannya. Angka itu pula yang menempatkan petani cengkeh Minahasa sebagai petani yang paling berjaya di Indonesia kala itu. Sampai-sampai Majalah Kretek dengan percaya diri menyebutkan bahwa konon saat itu pendapatan mereka melampaui pendapatan seorang warga Swiss—negeri paling makmur di Eropa (Kretek, 2010).Wajar saja jika mereka pergi ke Ibukota hanya untuk sekadar bercukur.
Berkah di Tengah Lokon-Soputan
Posisi Minahasa terletak hanya beberapa kilometer dari Kota Manado, ibukota PropinsiSulawesi Utara. Letaknya memang cukup strategis terutama sebagai daerah perkebunan. Diapit oleh gunung-gunung berapi yang diantaranya masuk dalam kategori Ring of Fire, yakni Gunung Soputan dan Gunung Lokon, menjadikan Minahasa sebagai kawasan yang terbilang subur. Abu vulkanik hasil letusan gunung api inilah yang kemudian turut mempengaruhi kesuburan tanahnya. Tak heran, jika tanaman dengan nama latin Eugenia Aromatica ini dapat tumbuh subur dan menjadi primadona sektor perkebunan.
Minahasa tercatat masuk ke dalam kawasan segitiga gempa, yang meliputi Filipina, Halmahera, dan Minahasa. Kawasan segitiga ini rawan terjadi gempa bumi. Seperti disebutkan oleh PVMBG bahwa aktivitas kegempaan di kawasan tersebut bahkan hampir sepuluh kali lebih tinggi dari Pulau Jawa. Tingginya aktivitas kegempaan tersebut tentu dapat menjadi efek domino bagi aktivitas vulkanologi karena dapat memicu kekentalan dan mobilitas magma di bawah bumi. Jika tekanannya besar, maka magma tersebut seperti dipompa merambat keluar ke permukaan, dan terjadilah erupsi.
Pada medio 2011 lalu Gunung Soputan sempat menjadi sorotan dengan naiknya aktivitas vulkanologinya. Meski tak sebesar letusan Merapi, namun status siaga III gunung dengan ketinggian 1.784 MDPL ini mampu untuk ‘mengusir’ beberapa kilometer para petani cengkehnya. Ribuan warga mengungsi akibat tragedi tersebut. Disusul kemudian oleh tetangganya, yakni Gunung Lokon yang terletak di Kota Tomohon yang juga menunjukkan aktivitas vulkanologinya. Meski begitu, kehadiran kedua gunung api tersebut justru bukan berarti ancaman, melainkan satu berkah tersendiri bagi masyarakat.
Ada berkah di tengah gunung api. Kesuburan tanah yang disumbang oleh kedua gunung api itu dan mahalnya harga cengkeh jenis Zanzibar Lengkoan—cengkeh primadona Minahasa—seperti menjadi iming-iming bagi masyarakat di tengah ancaman letusannya. Bahaya erupsi gunung api yang tak jarang merenggut puluhan bahkan ratusan nyawa seperti diacuhkan oleh berkah yang melimpah pasca-erupsinya. Masyarakat yang seringkali direpotkan oleh letusan gunung api. Dan, melalui gunung api pulalah tanah menjadi subur sehingga dapat dijadikan ladang pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Minahasa memang kaya potensi. Keberkahan dibalik deretan gunung api tak berhenti sampai disitu. Selain cengkeh, keberadaan gunung api di Minahasa juga menambah berkah lagi. Keberadaan gunung api sebagai isyarat adanya potensi energi panas bumi. Deretan gunung api di kawasan ini juga menjadi ladang energi geothermal. Tengok saja Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong. PT Pertamina Geothermal Energy bahkan telah mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong Unit 4 yang berkapasitas 20 MW di Sulawesi Utara pada Desember 2011 lalu.
Keseimbangan Alam
Akhirnya pemerintah jualah yang harus memberikan edukasi perihal kebencanaan gunung api. Indonesia yang telah ditakdirkan untuk dilingkari oleh gunung api (ring of fire), Indonesia pula yang harus belajar darinya. Bukan untuk mencegahnya sebab soal bencana adalah kuasa-Nya. Tapi, yang masih dapat dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat soal bahaya dan manfaat gunung api. Pembangunan sarana edukasi kebencanaan gunung api atau semisal vulkano wisata di Ketep Magelang dapat menjadi media untuk masyarakat memahami dan meminimalisasi dampak bencana erupsi gunung api. Sehingga korban jiwa (population bottleneck) dalam setiap bencana yang terjadi dapat dihindari.
Gunung api ibarat dua sisi mata uang. Antara potensi geohazard (bencana kebumian) dan manfaatnya. Bahaya pyroclastic flow dan lahar dingin di satu sisi, dan kesuburan tanah pasca erupsi di sisi satunya. Letusan Soputan dan Lokon yang mengusir penduduk, keduanya pula yang turut andil menyejahterakannya dengan panen cengkeh yang berlimpah. Inilah barangkali bukti keseimbangan alam, menjadi sahabat dan kadang menjadi musuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H