Tradisi
Diawali dengan ritual Among Tebal dan diakhiri dengan ritual Wiwitan. Itulah ritual wajib bagi para petani tembakau di sekitar lereng gunung kembar Sindoro-Sumbing (Temanggung-Wonosobo). Among Tebal untuk menghadapi musim tanam tembakau, sedangkan Wiwitan sebagai ritual menyambut datangnya musim panen.
[caption id="attachment_196506" align="alignnone" width="452" caption="Ritual Among Tebal (Foto AntaraNews)"][/caption]
Ritual tersebut telah turun temurun dari moyang mereka. Tujuannya tak lain adalah mengharap berkah dari Sang Maha Kuasa agar tembakau yang dihasilkan berkualitas. Sesaji berupa tumpeng menjadi sajian utama ritual tersebut. Tumpeng tersebut diarak ke ladang tembakau oleh masyarakat Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung.
Uniknya, Kaum, sebutan untuk orang yang memimpin ritual ini, membakar kemenyan dan 11 bibit tembakau. Angka 11 tersebut bukan tanpa maksud. Sebelas (11) yang dalam bahasa Jawa ‘sawelas’ berarti ‘kawelasan’ atau kasih sayang. Masyarakat setempat berharap Tuhan memberikan kasih sayang-Nya pada mereka dalam bertani tembakau.
Ironi
Srintil, inilah tembakau yang kehadirannya begitu diharapkan masyarakat setempat. Konon, tembakau asli Temanggung yang begitu kesohor seantero negeri ini begitu aromatik. Aroma khasnya akan mudah tercium meski dari jarak beberapa meter. Dengan itu, tak heran jika Temanggung kemudian dijuluki sebagai ‘Vuelta Abajo’—penghasil tembakau terkemuka di Kuba—nya Indonesia.
[caption id="attachment_196508" align="alignnone" width="300" caption="Panen Tembakau"]
Dalam kondisi tenang, gunung dapat menjadi semacam ‘ladang kesejahteraan’ bagi masyarakat setempat. Kehadiran tembakau Srintil-lah yang menegaskan soal kesejahteraan tersebut dengan harganya yang fantastis, yakni dapat mencapai 1 juta/kg (Kretek, 2010). Apalagi jika melihat fakta empirisnya bahwa sebagian besar masyarakatnya adalah petani tembakau. Kesejahteraan tentu tercium dengan itu.
Pada sudut pandang lain, dua gunung kembar ini menyimpan ironi. ‘Double-S’ menjadi ironi dengan dua sisinya. Sisi antagonis kadang juga protagonis. Keduanya masuk dalam deretan ‘Ring of Fire’, yang dapat menjadi antagonis melalui ancaman letusannya.
Sindoro yang memiliki ketinggian 3.150 MDPL ini merupakan gunung volkano aktif yang telah lama tertidur. Tercatat sudah 11 meletus sejak yang pertama pada tahun 1806 lampau dan terakhir tahun 1970. Karakter letusan Sindoro adalah tipe strombolian, yakni berupa keluaran lava pijar yang muncrat dari lubang kepundan, sehingga terlihat seperti letusan kembang api.
Lain halnya dengan Sindoro, Sumbing justru terlihat lebih kalem. Gunung ini terlihat adem ayem saja. Meski puncaknya masih mengepulkan asap belerang, namun kabar meletusnya praktis tak sebanyak Sindoro. Seperti yang dijelaskan dalam Prasasti Rukam (907 M), yang ditemukan di kaki Sumbing, gunung ini pernah meletus dengan dahsyatnya pada abad X Masehi. Konon, letusannya menghancurkan beberapa desa sekitarnya.
Eksotisme
Bicara soal gunung sama halnya bicara soal keindahan lekuk tubuh pertiwi. Beberapa orang kadang harus rela merogoh kocek besar, tak peduli capek, tantangan dan resiko demi mendapatkan pemandangan yang menarik dari gunung. Deretan bahaya gunung berapi seperti diacuhkan.
[caption id="attachment_196509" align="alignnone" width="448" caption="Sunset Sumbing (Foto Dokumentasi Pribadi)"]
Soal pemandangannya, ‘double-S’ tak usah diragukan. Eksotisme keduanya melalui sun rise dan sun set-nya begitu menyandera pandang para pendaki. Berdiri di puncak tertinggi diatas hamparan permadani dan sajian mahakarya abadi adalah satu pencapaian yang tak bisa dibayar dengan bahaya kematian sekalipun.
[caption id="attachment_196510" align="alignnone" width="448" caption="Sunrise Sindoro (Foto Dokumentasi Pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H