Mohon tunggu...
Sofa Nurdiyanti
Sofa Nurdiyanti Mohon Tunggu... Editor - Full time mom and dad of Kochi

Too good to be true

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kardus Kenangan yang Hilang

11 Mei 2012   17:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bu Kinur nanti mau dikasih apa buat kenang-kenangan?” Tanya Sarah padaku saat Jam Istirahat tiba.

“Iya Bu… Bu Kinur minta apa? Kami dah nabung lho, Bu. Nanti biar bisa beli kenang-kenangan buat Bu Kinur,” timpal Wulan padaku.

Anak-anak perempuan kelas lima mengelilingiku di bawah pohon yang terletak di depan kantor kepala sekolah. Di situlah tempat favorit kami di sela-sela jam istirahat. Aku asyik mengobrol dengan anak-anak setelah berkeliling dari satu kelas ke kelas lain melihat anak-anak bermain, belajar bahasa Sunda, memotong kuku mereka, atau ikut bermain dengan budak-budak yang baik hati.

Sudah beberapa hari, anak-anak ribut menanyakan kepulanganku, karena dari awal telah aku katakan akan pergi dari Langit Pagi bulan Mei. Dan saat itu, hari-hari terakhir di bulan April, semua anak, dari kelas 1 sampai 5 sibuk menanyakan kapan kepulanganku. Berharap aku tak pergi dari sana. Meski aku hanya mengajar kelas 5, tapi aku akrab dengan semua anak kecuali kelas 6. Hal ini dikarenakan aku sering mengisi jam kosong di kelas-kelas mereka.

Lalu di awal bulan Mei, satu-persatu anak mulai memberiku hadiah disertai surat kecil untuk tak melupakan mereka. Hadiah-hadiah itu semakin bertambah banyak saat tiba di hari perpisahan. Gantungan kunci, boneka kesayangan mereka, bros, jilbab, juga hadiah dari pihak sekolah. Tak semua benda itu baru, lebih banyak adalah benda kesayangan mereka. Tapi aku sangat menghargai semua pemberian mereka. Nilainya lebih dari nilai benda yang mereka berikan.

Nilainya setara dengan kasih sayang yang mereka titipkan padaku. Kasih sayang tulus yang mereka tujukan untukku. Surat-surat kecil yang mereka tulis pun isinya membuatku terharu. Aku merasa hidupku jadi berarti dan dihargai. Kasih sayang mereka tulus, tak ada tendensi apapun. Begitu banyak yang mereka berikan hingga terkumpullah satu kardus tersendiri untuk menampung kado yang mereka berikan. Jadilah ada sebuah kardus untukku, sebuah kardus kenangan yang beratnya setara dengan kasih sayang tulus yang mereka tujukan untukku.

Selain hadiah dari murid, di kardus itu ada 43 buku diari murid-muridku sewaktu aku mengadakan penelitian tentang peningkatan kemampuan menulis melalui buku harian. Isi tulisan murid-muridku dari awal sangat beragam. Lucu, sedih, konyol, mengharukan, dsb. Di akhir buku diari mereka, serempak, semua murid-muridku membuatkan sebuah puisi untukku yang berjudul: Bu Kinur. Niat awalnya ingin aku tulis puisi dan rangkuman buku harian mereka nanti setelah ada waktu luang.

Sekembalinya aku di Bogor dan bersiap pergi ke Surabaya. Aku kesulitan membawa barang-barangku yang dalam sekejap berkali lipat dari sebelumnya. Oleh karenanya kusatukan kardus kenangan itu bersama dengan barang-barang Dewi yang masih tertinggal di asrama. Awalnya aku bermaksud mengeposkan kardus itu ke Jogja. Tapi karena keterbatasan waktu, aku pun berniat menitipkan kardus itu ke salah seorang teman yang kebetulan akan ke Jogja.

Lalu kutitipkan kardus itu sebelum aku berangkat ke Surabaya. Saat aku ke Jogja, sudah ada niat untukku dan Dewi mencari letak kardus itu. Berkali-kali aku menghubungi temanku—mungkin ia sudah bosan dengan pertanyaan yang sama hehe, afwan ya—menanyakan lokasi kardus itu. Beberapa kali juga saat aku ke Jogja, aku dan Dewi mencarinya. Tapi susah menemukan lokasinya. Kehilangan kontak CP asrama di Jogja membuatku malu untuk bertanya lagi pada temanku, hingga akhirnya memanfaatkan jaringan internet untuk melacak lokasi asrama tempat kardusku berada. Keterbatasan waktu saat aku di Jogja, membuatku tidak bisa berlama-lama.

Dan harapan akan kardus itu pun kembali muncul saat aku bertemu temanku di Surabaya. Meski malu, akhirnya aku menguatkan tekad untuk kembali bertanya, entah untuk ke berapa. Saat itu kami bertemu di sebuah pelatihan guru di Surabaya.

“Mas, boleh minta alamat asrama di Jogja ga? Soalnya, dari kemarin belum juga nemu.” Tanyaku diiringi senyum tak berarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun