Mohon tunggu...
Sofa Nurdiyanti
Sofa Nurdiyanti Mohon Tunggu... Editor - Full time mom and dad of Kochi

Too good to be true

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sepasang Sepatu Shendy

18 Mei 2012   08:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:08 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEPASANG SEPATU SHENDY

“Bu, aku ora ana gurune lho,” lapor Shendy padaku saat aku memulai pelajaran kelas 2.

“Ya, udah. Shendy masuk ke sini aja. Belajar sama Bu Kinur di kelas 2.”

Sesaat kemudian Shendy segera mengambil tas dan belajar di kelasku. Pagi ini, sekolah amatlah sepi. Banyak anak membolos meski sudah diberitahu tetap masuk. Mungkin saja anak-anak ingin libur seperti halnya sekolah lain yang meliburkan sekolah selama dua hari. Guru-guru pun belum banyak yang datang. Baru kepala sekolah dan seorang guru agama yang kutemui ketika aku melewati kantor sekolah.

“Pelajarannya apa hari ini?”

“IPA, Bu.”

“Ya, udah keluarkan buku IPA.”

Sepintas kulihat, seluruh LKS IPA sudah terisi dan diberi nilai. Lalu kucari lagi yang belum dikerjakan, dan kusuruh mengerjakan. Dengan cepat Shendy berhasil menyelesaikan tugasnya. Shendy seharusnya sudah naik kelas 2, tapi berhubung tidak naik kelas dari sekolah sebelumnya. Ia pun kembali belajar di kelas satu. Tubuh Shendy tentu saja lebih besar dari anak-anak kelas satu, bahkan sepadan dengan anak kelas tiga. Dia anak yang pintar dan penurut sebenarnya, tapi entah mengapa tidak naik kelas dari sekolah sebelumnya. Awal didaftarkan di RKS, orang tuanya berkata, Shendy sering membolos dari sekolah. Oleh karena itu ia tidak naik kelas.

Beberapa kali saat aku mengajar kelas 1, menggantikan guru yang tidak hadir, kutemui pandangan bosan pada wajah Shendy. Pelajaran kelas 1 jelas tidak menarik hatinya. Membaca, berhitung, dan menulis telah ia kuasai dengan baik. Bahkan ia telah menguasai perkalian. Oleh karenanya seringkali ia kuberi tugas lebih rumit dari teman-teman sekelasnya. Ia selalu merasa senang, dan meminta diberi tugas yang lebih sulit.

Ketika berhasil menyelesaikannya pun, ia akan tersenyum, merasa bangga. Ia pun lebih suka berteman dengan anak-anak yang jauh lebih dewasa, seperti anak kelas 6 dan anak SMP. Sering aku merasa khawatir akan pengaruh buruk anak-anak yang jauh lebih dewasa itu. Tapi Shendy menyakinkanku, bahwa ia baik-baik saja. Dan seperti yang sudah kuduga, ia telah menyelesaikan tugasnya dalam waktu singkat kemudian aku memperbolehkannya untuk istirahat.

Dan kondisi memprihatinkan ini tak berlangsung lama, anak-anak dipulangkan lebih cepat karena ada edaran dari Diknas yang menyuruh libur. Lalu aku pun menuruti perintah dari Kepala Sekolah untuk memulangkan anak-anak segera. Sebelum Shendy pulang, aku mengingatkannya untuk mengikutiku ke pasar dekat sekolah. Aku sudah berjanji membelikannya sisir supaya ia tidak lagi datang ke sekolah dengan rambut yang tersisir oleh jari.

Saat memperhatikan ia keluar kelas, aku menyadari sesuatu, “Shendy, sepatumu mana?”

“Di tas, Bu,” jawabnya cuek.

”Ayo dipakai, biar kakimu enggak kenapa-kenapa nanti kalau pulang.”

“Malas Bu,” jawabnya sambil menghindariku.

Kesal mendengar jawabannya, tapi kuputuskan diam saja. Kupercepat langkahku menuju pasar sambil mengingatkan ia untuk sabar menungguku. Dua temannya sudah menunggu dan berusaha memengaruhinya agar tak mendengar perintahku, seperti biasa, mereka hendak kabur! Setengah berlari, aku menuju pasar. Lalu kudengar Shendy memanggilku, menyusulku dengan langkah tergesa.

“Bu, bener sampeyan. Sikilku getihin mergo ora nganggo sepatu.”

“Kok bisa?” tatapku tak percaya.

“Iya Bu, kesandung dalan. Langsung getihen,” jawabnya dengan nada menyiratkan sesal.

“Shendy tahu enggak, kalau Bu Kinur kasih nasihat itu tandanya Bu Guru sayang sama Shendy? Lain kali jangan diulangi lagi ya? Kalau dinaseehati Bu Guru, nurut ya?” kataku sambil menatap matanya. Berusaha menyakinkan, kalau ia sungguh mendengarku kali ini.

Ada rasa sesal melingkupiku. Harusnya tadi aku menasihati dengan kata-kata yang lebih baik. Tidak mengucapkan kata-kata yang mengandung doa buruk. Harusnya aku ganti: Shendy, pakai sepatumu. Pasti nanti lebih cakep. Hehe...Yah, harusnya seperti itu. Bukan mengatakan akan ada kejadian buruk padanya jika tak memakai sepatu.

Setelah menyerahkan sisir padanya, kulihat lukanya lumayan. Darahnya terus saja merembes keluar dari kulit jempol kaki yang sobek. Melihat keadaannya membuatku miris. Setelah membelikan handsaplast dan tisu aku segera mendekati Shendy.

“Duduk sini, Shen.” Perintahku sambil menyuruhnya duduk di atas dipan, di depan toko.

Aku berjongkok mengeluarkan tisu dan menatap ngeri pada lukanya. Aih, aku sungguh tak tahan melihat darah. Saat hendak mengusap lukanya, Shendy pun mencegahku.

“Aku dewe wae Bu. Ben ga loro.”

Dengan sedih aku memandangnya lamat-lamat. Aih.... Aku merasa bersalah dan amat sedih dalam satu waktu. Melihat lukanya aku semakin tak tega. Sesudah diberi handsaplast, aku menyuruhnya memakai sepatu kembali.

Mengko tambah loro, Bu,” kilahnya, menolak saranku.

“Ih, enggak. Ayo dipakai, biar enggak tambah sakit. Ntar daripada kenapa-napa lagi.” Deuh! Ini mulut baru aja disuruh bilang baik-baik, malah yang keluar kata-katanya seperti itu lagi. Ampun, Kinur!

“Iya Bu,” setengah terpaksa ia pun mengeluarkan sepasang sepatu dari dalam tasnya. Ia tak pernah mau memakai kaos kaki meski sudah kuingatkan berkali-kali. Termasuk hari ini, ia tak memakai kaos kaki ke sekolah. Ia pun bangkit seusai memakai sepatu dan dibonceng dua temannya dengan sepeda jengki. Aih Shendy, maafin Ibu. Mulai sekarang harus berhati-hati lagi dalam mengucapkan kata-kata. Karena benarlah adanya nasihat guruku sewaktu SMA: Kalau kalian berbicara hati-hati ya. Karena kata-kata adalah dia. Bisa jadi kenyataan tanpa setahu kalian. Jadi bicaralah yang baik-baik supaya nasib kalian pun jadi baik. Aih.... Kalimat guruku itu sekali lagi terngiang-ngiang di benakku sambil menyisipkan rasa bersalah.

18 Mei 2012

15:04

Note: Besok, harus lebih baik lagi Bu Kinur. Doakan yang terbaik untuk muridmu. Hamasah:).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun