Hujan merupakan fenomena alam yang membawa banyak manfaat, namun juga menimbulkan tantangan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Salah satu dampaknya yang cukup meresahkan adalah peningkatan populasi nyamuk setelah musim hujan. Fenomena ini berakar pada berbagai faktor ekologis dan biologis, serta memiliki konsekuensi serius terhadap kesehatan manusia.Hujan sebagai Pendukung Habitat Nyamuk
Curah hujan yang tinggi menciptakan genangan air di berbagai tempat, baik alami maupun buatan. Di lingkungan alami, air yang menggenang di cekungan tanah, rongga pohon, atau daun yang membentuk kolam kecil menjadi habitat potensial bagi nyamuk untuk bertelur. Di sisi lain, lingkungan buatan seperti wadah plastik, ban bekas, ember, talang air yang tersumbat, atau pot tanaman juga menjadi tempat berkembang biak yang sempurna bagi nyamuk.
Spesies seperti Aedes aegypti (vektor demam berdarah dengue) dan Culex (penyebab filariasis) sangat bergantung pada keberadaan air untuk siklus hidupnya. Genangan ini menjadi tempat bagi telur nyamuk menetas dan larva berkembang hingga dewasa. Setelah hujan, kelembapan yang tinggi juga mendukung kelangsungan hidup nyamuk dewasa dengan mengurangi risiko dehidrasi, terutama di wilayah tropis seperti Indonesia.
Suhu dan Percepatan Siklus Hidup Nyamuk
Suhu lingkungan setelah hujan juga memainkan peran signifikan dalam mendukung perkembangbiakan nyamuk. Suhu ideal untuk siklus hidup nyamuk berkisar antara 25–30°C, kondisi yang umumnya terjadi di musim hujan. Dalam suhu ini, proses dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa berlangsung lebih cepat. Hal ini menjelaskan mengapa populasi nyamuk dapat meningkat tajam dalam waktu singkat setelah hujan.
Lonjakan populasi nyamuk setelah hujan membawa risiko kesehatan yang besar, terutama di negara-negara tropis. Nyamuk adalah vektor berbagai penyakit berbahaya seperti:
-Demam Berdarah Dengue (DBD)
-Malaria
-Chikungunya
-Zika Virus
Menurut data dari Kementerian Kesehatan Indonesia, kasus demam berdarah sering kali mencapai puncaknya selama musim hujan. Pada tahun 2023, Indonesia mencatat 114.720 kasus demam berdarah dengue (DBD) dengan 894 kematian. Kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat, yang mencapai 19.328 kasus, sementara kematian tertinggi tercatat di Jawa Tengah dengan 143 kasus. Angka-angka ini menunjukkan dampak serius dari penyakit DBD yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Peningkatan populasi nyamuk berarti lebih banyak nyamuk yang membawa patogen, sehingga risiko penularan penyakit kepada manusia menjadi lebih tinggi. Hal ini tidak hanya menimbulkan beban kesehatan, tetapi juga berimplikasi pada ekonomi, seperti meningkatnya biaya pengobatan dan hilangnya produktivitas masyarakat.