Menurut alur statik pengetahuan seharusnya semakin lama ilmu akan berkembang. Namun pada kenyataannya, ilmu dan pengetahuan sedikit demi sedikit terkikis oleh adanya sikap pragmatis, tanpa mempedulikan apa yang ada pada jiwa kritis.
Mengapa saya menyebutkan jiwa kritis?
Apakah ilmu dan pengetahuan hanya terbatas pada orang yang kritis?
Pada dasarnya setiap manusia memiliki jiwa kritis, seperti halnya jantung yang ada pada tubuh manusia. Apabila tidak memilikinya, maka manusia tersebut tak dapat dikatakan sebagai manusia, namun hanya sebuah mayat ataupun bangkai yang berjalan. Sifat kritis tersebutlah yang menghidupkan manusia melalui akalnya untuk selalu berkembang.
Bolehlah kita menganggap pragmatis itu bagian dari sifat kritikisasi dari hal-hal yang tak berujung, namun semakin mengabaikan sifat kritis dan mengedepankan pragmatis pada diri akan membunuh akal manusia itu sendiri atau dengan kata lain membunuh diri sendiri secara perlahan.
Seandainya ide itu muncul dan membuahkan sifat kritis akan sengaja ditolak dan dimatikan oleh beberapa hal yang sifatnya dogmatis dan berujung pada sikap konservatifisme. Di lingkungan akademisi merupakan hal yang wajar serta menjadi sebuah keharusan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang berpikir. Berpikirpun hanya sekedar ingatan dan sangat sedikit menggunakan akal dan hati, sehingga tak sedikit para pemikir khususnya dalam lingkup pendidikan tak mampu menjawab beberapa persoalan yang ada disekitarnya dan hanya mampu berbicara tanpa tahu apa yang dibicarakan.
Institusi-institusi yang berdiri megah tak menjadi jaminan dalam kemapanan berpikir. Disitu, tak beda dari sekedar tempat wisata yang berada di hutan belantara. Mereka hanya mengandalkan beberapa instink tanpa mau menggunakan akal untuk melalui tahapan kedalaman ilmu dan pengetahuan dalam sebuah kehidupan. Cukup hanya memuat kekosongan di otak dengan beberapa dogma dari buku, guru, dan tokoh, dan dianggap bahwa itulah sebuah ilmu dan pengetahuan.
Kemampuan seorang pengangguran ataupun para pekerja yang menggunakan ijasah itu sama saja, apabila pragmatisme masih digunakan. Sebab ijasah tersebut hanya menjadi penghalang manusia untuk menggunakan akal, bila perlu rasa malas itu dibuat dalam pragmatisme untuk menjerat leher dan memeras para koservatif.
Untuk berpikir kritis memang membutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang keras dibanding dengan pragmatisme. Namun, kita hanya akan menjadi makhluk yang tanpa akal atau menjadi manusia sejati itu merupakan sebuah pilihan masing-masing individu. Apabila kita mengasihani diri saat ini, mungkin di masa akan datang mereka akan lebih menderita dari sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H