Semenjak perubahan mahzab kepelabuhanan Indonesia menjadi landlord port dengan hadirnya UU 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, peran otoritas pelabuhan dan syahbandar menjadi sangat utama dalam mengatur kelancaran arus kapal dan barang di pelabuhan. Namun dalam kurun waktu 2008 - 2015, permasalahan kelancaran arus barang tetap sama saja tak ada perubahan signifikan, hingga puncaknya saat Presiden Jokowi menegur Kemenko Maritim dam IPC.
Saya tahun 2013 telah menulis mengenai bagaimana cara mengatasi persoalan kelancaran arus barang (khusunya dweling time) dan juga bagaimana peran Otoritas Pelabuhan dalam tugasnya memperlancar arus barang. Saya hanya akan mengingatkan kembali apa yang telah saya tulis tahun 2013 dengan sedikit tambahan, sebagai berikut:
Berbagai permasalahan di kepelabuhanan sampai saat ini belum juga menemukan sebuah titik terang. Mulai dari antrian kapal yang akan bersandar hingga berhari-hari, penyelundupan, demurrage, dwellling time, YOR yang telah melampui ambang batas, kemacetan jalan akses menuju pelabuhan, permasalahan penyeleasian adminsitrasi barang, yang semua hal tersebut menyebabkan pelabuhan di Indonesia dalam kondisi inefisiensi bahkan beberapa negara menyatakan bahwa pelabuhan Indonesia dalam kategori grey port (semrawut).
Berbagai persoalan pelabuhan tentunya dihadapi seluruh pelabuhan di negara manapun, namun dibanyak negara mereka mampu melakukan koordinasi yang baik antar stakeholders di pelabuhan, sehingga persoalan-persoalan yang saya sebutkan tadi tidak terjadi ataupun terjadi namun segera mudah untuk diselesaikan. Pertanyaannya kenapa di Indonesia rasanya sangat sulit menyelesaikan peroalan tersebut? Hal ini dikarenakan kurangnya koordinasi antar stakeholders dan tidak adanya semacam koordinator (dalam arti yang sebenarnya: secara aturan ada, namun belum berperan sebagai mana mestinya), penanggung jawab kepelabuhan di sebuah wilayah kerja kepalabuhan.
Dengan adanya UU 17 tahun 2008 seharusnya persoalan-persoalan yang saya sebutkan diatas menjadi tanggung jawab Otoritas Pelabuhan (OP), bahkan secara teknis juga sudah di atur dalam PP No.61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan. Dalam aturan tersebut OP sebagai pihak yang bertanggung jawab melakukan pengaturan, pengendalian dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang di usahakan secara komersil. Dengan tugas dan tanggung jawab tersebut sangat jelas bahwa semua hal terkait dengan kepelabuhanan di suatu wilayah kerja pelabuhan harus berkoordinasi dengan OP sebagai pihak yang memiliki tugas dan kewajiban melakukan pengaturan.
Oleh karena itu semua stakeholders di pelabuhan harus mau berkoordinasi dengan OP, bahkan jika tidak mau maka, OP memiliki kewenangan untuk menindak tegas dan mengaturnya sehingga salah satu tugas OP yaitu menjamin kelancaran arus barang di pelabuhan dapat terwujud. Payung hukum UU dan PP rasanya sudah cukup kuat untuk OP dapat menjalankan tugasnya, namun di sisi lapangan aparat OP banyak terkendala oleh kepentingan-kepentingan politis yang seharusnya tidak perlu terjadi di pelabuhan. Di lapangan OP mengalami kendala keterbatasan anggaran dan prasarana, mereka juga kadang terkendala oleh ketidak setaraan kedudukan mereka yang level hanya Eselon II b (dibawah Dirjen) dibandingkan dengan jabatan Direktur Utama yang boleh dibilang setara dengan Eselon I (langsung dibawah menteri).
Jika kita memang menganut sistem kepelabuhanan land lord, maka semua pihak harus legowo menyerahkan pengaturan dan koordinasi kepelabuhanan di tangan OP, jangan seperti yang masih terjadi saat ini, semua pihak merasa memiliki kewenangan untuk mengatur pelabuhan. Jika pelabuhan Indonesia ingin berjaya maka semua pihak harus mengerem dan mulai saling berkoordinasi dengan OP, sehingga sistem kepelabuhanan Indonesia segera dapat tertata dengan baik, seiring dan sejalan.
Pemerintah pusat mulai dari kementerian perhubungan, Kementerian BUMN, kementerian keuangan, kementerian perdagangan, kemenko ekonomi, TNI, POLRI dan pihak lainnya harus mendorong OP untuk menjadi koordinator utama di pelabuhan, dan semua hal tersebut akan terwujud jika juga ada dukungan dari Presiden sebagai penanggung jawab pemerintahan.
Perlu menjadi catatan penting bahwa pelabuhan adalah muka Indonensia, pelabuhan adalah pintu gerbang utama Indonesia, oleh karena itu tentunya kita tidak mau jika dicap sebagai negara yang pintu utamanya amburadul, atau muka Indonesia tidak karuan, maka sudah saatnya kita mendoron OP untuk berkinerja sesuai dengan aturan yang telah ada sehingga pelabuhan dapat tertata dengan baik, efisien dan devisa negara akan mengalir deras melalui pelabuhan kita.
Demikian tulisan saya tahun 2013 lalu, sebelum kemenko maritim serta kementerian perhubungan baru menyadari pentingnya penguatan peran OP dan Syahbandar di pelabuhan setelah ditegur Pak Presiden. Jika kita mau jadi poros maritim dunia, semua pihak yang terkait dengan pelabuhan harus tunduk kepada Syahbandar (dalam UU 17 Tahun 2008: Pasal 1 ayat 56: Syahbandar adalah pejabat pemerintah dipelabuhan yang diangkat oleh menteri perhubungan dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamtan dan keamanan pelayaran) dan Otoritas Pelabuhan. Dengan demikian Dirut IPC, Bea Cukai, Karantina dan instansi lainnya harus tunduk berdasarkan undang-undang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H