Aceh Timur, 23 Nopember 2014
Anggaran Sektor pendidikan di Republik ini memang besar persentasenya. Undang-Undang Dasar mewajibkan alokasi anggaran dalam APBN untuk Pendidikan sebesar 20%. Angka yang besar karena 1/5 dari APBN wajib digunakan untuk membangun pendidikan di Indonesia. Namun sayang, di dalam alokasi itu juga sudah termasuk pembayaran Gaji dan Tunjangan lainnya untuk Para Guru dan Dosen. Sehingga bila 20% itu diambil yang benar-benar murni untuk belanja pendidikan (termasuk modal PBM) jumlahnya masih sangat luar biasa kecil sekali.
Kecilnya alokasi anggaran untuk modal PBM ini dapat dilihat dari masih banyak sekolah yang belum mencapai standar pelayanan minimal. Pak Mendikbud malah merilis angka 70%. Berarti hanya 30% sekolah yang telah memiliki standar dan bisa dikatakan sekolah yang layak untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional. Anda semua tentu dapat menebak dimana kira-kira beradanya sekolah yang telah memenuhi standar itu? Benar, jawabannya adalah sekolah itu terletak di kota-kota besar. Kalaupun tidak di kota besar, umumnya sekolah itu ada di daerah yang memiliki PAD tinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Dari 8 Standar Nasional Pendidikan, belum semuanya terpenuhi. Sebagai contoh kita ambil standard sarana dan prasarana. Kemampuan keuangan pemerintah untuk membangun sarana pendidikan selama ini masih lemah. Belum ada satu pun sekolah di Kabupaten Aceh Timur ini yang memiliki sarana prasarana lengkap dan memadai sehingga mampu mencapai visi dan misi sekolah. Pustaka, Laboratorium, sarana olahraga belum bisa dilengkapi. Ada yang sudah punya gedung laboratorium tapi isinya belum ada. Ada pustaka tapi bukunya belum memadai. Malah masih ada sekolah yang tidak punya ruang kelas untuk belajar sehingga dengan terpaksa sekolah membuka kelas siang.
Memang seolah tiada habisnya masalah yang ditemukan dalam bidang pendidikan. Apalagi masalah yang muncul sejak Bahan Bakar Minyak naik. Pemerintah bilang naiknya tidak besar, hanya Rp. 2000 per liter. Padahal kenyataannya guru sangat berat menerma kenyataan pahit ini. Tapi guru bukanlah buruh yang setiap saat bisa berdemo. Guru tidak bisa sembarangan berdemo. Apabila guru berdemo maka ada ribuan bahkan jutaan siswa akan terbengkalai dan bisa menimbulkan persoalan lain yagn lebih pelik. Dengan bijak guru menerima kenyataan pahit ini tetapi hanya menjerit di dalam hati.
Kenaikan BBM ini bukan ditolak oleh para guru. Kita tahu, berapapun naiknya BBM guru pasti akan tetap datang ke sekolah. Mengapa? karena guru memiliki tugas mulia mendidik generasi penerus. Tugas mulia ini tidak boleh berhenti hanya gara-gara guru tidak punya cukup ongkos untuk naik JUMBO.
Kondisi dompet guru di Aceh Timur tentu sangat berbeda dengan daerah lain, khususnya dengan guru di Daerah Jabodetabek. Guru di Jakarta misalnya, meskipun naik BBM ini tetapi tetap bisa naik busway dengan harga tetap. Ongkos yang dikeluarkan guru di Aceh Timur sangat jauh bedanya dengan ongkos tiket busway atau Commuter line. Di Jakarta seorang guru masih bisa berangkat ke sekolah dengan ongkos Rp.3.500, meskipun dia tinggal di Jakarta Barat dan mengajar di Jakarta Timur. Di Aceh Timur uang sebesasr itu paling hanya cukup untuk naik RBT. Belum lagi kenaikan ongkos angkutan yang tidak terkontrol di daerah kami yang jauh dari pusat pemerintahan. Luar biasa, ongkos yang biasanya Rp.12.000 sekarang naik jadi Rp.15.000, itupun masih ada tambahan naik becak lagi. Luar biasa.
Begitu beratnya beban yang dihadapi teman-teman guru tentu tidak ada salahnya jika para guru berharap subsidi BBM yang katanya dialihkan dari subsidi barang menjadi subsidi juga diterima para guru. Paling tidak ada beberapa hal yang bisa dibantu melalui subsidi ini:
1. Bus Guru.
Silahkan BBM naik, tapi sediakanlah bus khusus untuk para guru. Sehingga kita bisa memastikan guru dapat kesekolah tanpa dipengaruhi mahalnya ongkos angkutan. Ada sekolah yang hanya dapat ditempuh dengan kendaraan umum berupa RBT/Ojek dengan ongkos Rp.50.000 sekali jalan. jadi PP guru butuh uang untuk ojek itu sebesar Rp.100.000.