Jujur dalam menulis begitu berkesan dalam ingatan saya. "Pagi buta", setelah shalat subuh saya menemukan kalimat itu. Bukan kalimat istimewa dengan susunan kalimat bertatabahasa rumit, melainkan kalimat sederhana yang biasa kita dengar sehari-hari. Kalimat yang ditulis ringan, mengalir begitu saja dalam sebuah komentar seorang "tokoh pendidikan" SMKN Taman Fajar. Begitulah alkisah judul postingan kali ini saya comot.
Dalam salah satu status FB saya, Pak Fitriadi, S.Pd. M.Pd. (M.Pd. nya sedang digodok), mengomentarinya begini, "Ternyata saat kita betul-betul konsen menulis, 2 halaman siap 2 hari, tapi semua hasil pemikiran sendiri rasanya puas...tapi 10 halaman siap dalam 1 jam, hasil plagiat, rasanya hambar begitu. Mari jujur dalam menulis". Begitulah komen lengkap calon tokoh pendidikan Aceh Timur ini. Hehehe
Ada beberapa makna yang bisa kita tangkap dari kalimat itu, "mari jujur dalam menulis". Bagi saya, makna pertamanya itu berhubungan dengan pentingnya setiap guru punya sifat jujur. Kejujuran yang juga menjadi bagian penilaian, masuk kateogir B dalam SKP yakni "prilaku kerja" pegawai. Kejujuran atau integritas menjadi perhatian pemerintah. Sifat jujur yang dulu pernah membuat Islam menguasai dunia selama 800 tahun lebih adalah modal utama. Tidak bisa tidak, kalau kita mau sukses maka kita harus punya kejujuran, memiliki integritas yang tinggi. Membaca komentar itu "jujur dalam menulis" mengundang Tanya kedalam diri saya sendiri "sudahkah saya jujur pada diri saya sendiri?" Ataukah selama ini kejujuran itu hanya bagus secara tertulis dalam bertumpuk-tumpuk dokumen yang telah ada, dan bahkan akan semakin tinggi dan banyak tumpukan itu di masa datang. Pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab secara benar oleh orang yang jujur. Jujur itu adalah KITA.
Makna kedua agak berbau teori. Ada juga yang bilang dengan istilah kerennya "normative". Jujur dalam menulis mengandung makna "Tulislah apa yang kita lakukan, dan bukan menuliskan apa yang orang lain lakukan seolah menjadi kelakuan kita". Itu namanya nipu. Itu sama dengan bohong. Bohong itu tidak jujur. Sekali tidak jujur, maka kita akan masuk dalam perangkap kebohongan seumur-umur. Tobatnya susah. Orang yang punya sifat bohong akan susah tobat. Kalau orang ahli silat lidah atau ahli bohong bilang gini, "Tobat Aku gak akan aku berbohong lagi". Kata-kata tobatnya itu masih ada kadar bohongnya. Kata para senior, kalau orang sudah sering bohong, maka akan menganggap bohong itu jadi baik. Bahayanya lagi bila pada level akut dan menganggap kebohongan itu sebagai sebuah kejujuran. Ini bahaya.
Makna yang ketiganya apa ya! oh ia, makna yang ketiganya dari "jujur dalam menulis" adalah bila anda tidak bisa atau belum mampu menulis, maka jujurlah pada diri sendiri. Bilangin aja "saya belum mampu bikin PTK, belum bisa nulis artikel", dan lain-lain. Karena dengan jujur kita bilang belum mampu, maka kita harus belajar, biar mampu, biar pinter. Karena ada keinginan untuk belajar, maka kita cari teman, memilih kawan, yang bisa diajak untuk belajar membuat tulisan atau bikin Penelitian Tindakan Kelas. Terutama yang bisa gratis. Nah itu. Dari sifat jujur dengan makna yang ketiga ini justru akan terjadi penghematan jutaan rupiah. Beneran nih!!!
Semoga kejujuran yang dimulai dari menulis akan membuat kita jujur dalam berkata, jujur dalam berbuat, dan jujur pula dalam tindakan.
Ada yang mau nambahin lagi, silahkan tulis di komentar. Ingat, berkomentarlah dengan jujur.
Salam kejujuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H