Fotografi sering dianggap sebagai proses literal. Arahkan kamera pada sesuatu yang dianggap menarik lalu tekan tombol shutter. Namun ada kalanya kita menunggu cahaya yang tepat , menemukan komposisi yang menarik , mengekspos gambar dengan benar dan seterusnya dan sebagainya.
Semuanya benar, bahkan fotografer yang paling kreatifpun akan melakukan hal serupa. Saya telah membaca berbagai referensi baik dari buku, artikel di majalah, atau di media online mengenai fotografi yang menyatakan bahwa pemahaman tentang eksposur , metering dan white balance dan hal teknis lainnya serta benar-benar mampu mengkomposisi gambar dengan menggunakan pedoman seperti aturan pertiga dan lain sebagainya.
Namun ada hal yang paling penting yaitu unsur Rasa, Estetika dan Persepsi dalam memahami suatu obyek yang akan dipotret. Perjalanan saya di bidang fotografi memasuki tahun ke lima dan saya merasakan ada sesuatu yang sangat membahagiakan saya yaitu berupa talenta dalam melihat sesuatu obyek yang akan saya potret. Mungkin bagi sebagian orang akan sedikit heran dan aneh ketika saya dengan diam-diam memotret rumput atau bunga liar atau sesuatu yang tidak lazim untuk dipotret, toh pada gilirannya eksekusi ada ditangan saya.
Saat saya memotret apapun obyeknya harus ada “hubungan emosional “ dan “spiritual” kepada obyek yang saya potret . Sengaja saya beri tanda kurung bukan berarti hubungan antar manusia dinafikan melainkan kepada alam sekitar dan hubungan spiritual kepada Sang Maha Pencipta Alam Semesta yang memberi kepuasan bathin kepada saya, anda dan kita semua berupa keindahan alam dengan segala isinya.
Salam Hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H