[caption id="attachment_347106" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi: Gadai SK DPRD"][/caption]
Anggota DPRD adalah pejabat negara di daerah, mewakili rakyat daerahnya yang mendapat dukungan rakyat lewat konstituennya. Kedudukan anggota Dewan cukup terhormat di tengah rakyat yang diwakilinya. Seyogyanya anggota Dewan yang telah dilantik menyimpan SK yang telah diterimanya sebagai simbol dukungan rakyat yang telah memilihnya dan menjadi bukti keabsahan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dalam pemerintahan di daerah.Sesuai amanat Konstitusi, negara melindungi segenap warga negara, negara melalui pejabatnya mensejahterakan seluruh rakyat dan mencerdaskan bangsa.
Tugas pokok para pejabat negara termasuk anggota DPRD mestinya menjadi perhatian utama karena itu fokus terhadap pelaksanaan amanat konstitusi yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Mengingat tugas berat yang diamanahkan oleh Konstitusi itu paling tidak langkah pertama yang seharusnya dilakukan oleh wakil-wakil rakyat itu menyusun agenda yang akan dilaksanakan ke depan untuk masa bakti lima tahun. Seorang negarawan akan menempatkan dirinya sebagai wakil rakyat secara keseluruhan setelah resmi dilantik sebagai anggota DPRD setempat, meskipun dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif, dia dicalonkan oleh partai politik tertentu dan dipilih oleh konstituennya yang terbatas. Sikap negarawan yang seharusnya dimiliki oleh setiap anggota legislatif baik di pusat maupun di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota. Sebagai wakil rakyat mereka berbicara dan bertindak atas nama dan untuk rakyat yang diwakilinya, bukan lagi sebatas wakil Parpol yang mengusungnya dan konstituen yang memilihnya. Seorang diplomat ulung yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Mr.Moh Roem, dikenal dengan perundingan Roem-Royen antara pemerintah Indonesia-Belanda, ketika terpilih menjadi pejabat tinggi negara didatangi oleh konstituen dari partainya Masyumi untuk berbagi fasilitas, Moh.Roem menyatakan dengan tegas tapi santun bahwa ketika ia resmi diangkat oleh negara maka amanat diatas pundaknya bukan lagi sebatas untuk partai dan anggotanya semata tetapi amanat itu sudah melliputi bagi seluruh rakyat Indonesia. Untunglah waktu itu konstituen dan partainya memahami betul hakikat seorang peminan publik yang dipercaya oleh rakyatnya sehingga selamatlah ia dalam menjalankan amanat rakyatnya dan dikenang sampai kini sebagai seorang negarawan yang teguh pada pendirian dan senantiasa membela kebenaran meskipun terhadap lawan politiknya.
Fenomena yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan cukup memprihatinkan adalah wakil rakyat di daerah ramai-ramai gadaikan SK DPRD segera setelah dilantik dan memperoleh Surat Keputusan sebagai anggota DPRD untuk mendapatkan pinjaman uang dari Bank. Uang pinjaman itu diperlukan untuk mengembalikan pinjaman dan menutup biaya masa kampanye pada pelaksanaan Pileg beberapa waktu yang lalu. Transaksi dengan Bank melalui jaminan SK DPRDdan pengembalian pinjaman lewat pemotongan honor sebagai anggota DPRD disepakati untuk waktu tertentu. Bisa dibayangkan seorang wakil rakyat yang akan menjalankan amanat rakyat dengan sepenuh perhatian, paling tidak pendapatannya berkurang tiap bulan karena dipotong untuk pengembalian pinjaman Bank, sehingga dapat memecah konsentrasi pekerjaan pokoknya sebagai wakil rakyat yang bertanggungjawab untuk mencukupkan kekurangan pendapatan perbulannya. Mereka yang menggadaikan SK DPRD, dimungkinkan biaya pencalonannya tidak dipenuhi oleh Partainya, sehingga ia jalan sendiri dengan biaya sendiri atau meminjam kepada teman atau bisa juga dibiayai oleh sponsor yang memang menyediakan dana untuk itu. Itulah barangkali yang sering disebut oleh media dengan istilah politik transaksional. Biasanya penyandang dana akan memilih calon yang potensial bisa terpilih, sehingga transaksiitu bisa berlanjut setelah calon legislatif terpilih menjadi anggota dewan. Beruntung bagi mereka yang terpilih, bagaimana pula nasib para Caleg yang gagal yang juga sudah banyak menggunakan uang pinjaman, sehingga harus menjual rumah, kendaraan dan barang berharga lainnya untuk mengembalikan hutangnya. Pernah ditulis di Media seorang caleg dari daerah yang gagaldan menggelandang ke Jakarta dan ditemukan wartawan sedang duduk lesu di tangga masjid, ternyata ia sedang menjajakan ginjalnya ke beberapa Rumah Sakit untuk membayar hutang-hutangnya selama kampanye Pileg yang ia ikuti di daerahnya. Kita yang mengikuti laporan wartawan itu ikut trenyuh.Malahan beberapa tahun yang lalu kita sempat menyaksikan disiaran TV seorang calon Kepala Daerah yang gagal, kehilangan segala-galanya yaitu rumah, kendaraan, usaha yang ditekuninya, jugaistrinya dan yang amat tragis yang bersangkutan kehilangan kesadaran diri. Hal itu ditayangkan oleh stasiun TV yang bersangkutan berjalan di jalan raya dengan pakaian minim.
Ternyata praktek Gadai SK DPRD sudah lama terjadi, pihak Bankmenyatakan yang penting dengan jaminan SK itu dan kesepakatan pemotongan honor DPRD tiap bulan itu merupakan jaminan pinjaman akan kembali, kecuali jika anggota dewan itu diberhentikan karena kasus korupsi. Seorang anggota Dewan menjawab pertanyaan wartawan bahwa praktek ini telah menjadi hukum adat. Malah ketua DPRD Kota Cimahi dan 35 anggota Dewan yang menggadaikan SK tidak mempermasalahkan praktek itu, tidak ada aturan yang dilanggar. Sekretaris Dewan Kota Cimahi menjelaskan, dia memfasilitasi anggota Dewan yang akan meminjam uang dengan pihak Bank.
Dalam sistem hukum kita telah berlaku norma yang dipatuhi di kalangan masyarakat, malah jauh sebelum masuknya sistem Civil Law atau sistem Continental yang dibawa oleh Pemerintah Hindia Belanda, norma itu sudah mendarah daging dalam masyarakat. Sampai sekarang masih berlaku hierarkhi norma itu, dimulai dari norma Sopan santun, norma Kesusilaan, norma Agama dan norma Hukum. Bagi bangsa berbudaya tinggi dan berkeadaban tidaklah cukup Cuma mengandalkan aturan hukum semata-mata dan mengabaikan norma-norma yang lainnya, karena dibalik itu ada Kepatutan, apabila dilanggar masyarakat menilai negatif terhadap si pelanggar Kepatutan itu. Betapa perasaan keadilan masyarakat terusik ketika putusan pengadilan hanya mengandalkan aturan perundang-undangan semata dan mengabaikan norma dan rasa keadilan yang telah mereka miliki secara turun temurun.Banyak contoh yang telah dipaparkan oleh Media seperti kasus mengambil sandal jepit, mengambil buah kakao yang sudah jatuh,kasus Prita dan banyak lagi. Kehalusan rasa yang diasah oleh norma telah dianut dan dipelihara sejak lama oleh masyarakat kecil hendaknya juga dapat dirasakan dan dimilki oleh para pejabat negara baik diEksekutif, Yudikatif dan Legislatif apalagianggota Dewan yang dipilih langsung oleh rakyat.
Memang, pantas tidaknya menggadaikan SK DPRD itu, tentu tergantung pada sensitifitas masing-masing pribadi kita. Bagi mereka yang telah dipilih oleh rakyat dengan pengharapan menjadi pembawa aspirasi mereka yang umumnya masih melekat norma-norma lama yang mereka warisi dari generasi awal bangsa ini. Tak semua warisan lama itu buruk, namun diyakini masih ada mutiara yang dapat diunggulkan untuk mengangkat bangsa ini menjadi bangsa terhormat.
Ditulis: M.Rais Ahmad
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H