(Penulis: Nurcholis Darmawan)
"Untuk membayangkan jiwa-jiwa yang diibaratkan bagai pelaut, yang mengarungi lautan dengan tepian yang penuh rahasia. Sesekali mereka singgah untuk berteduh. Seringkali mereka lupa, bahwa persinggahan itu tidak-lah untuk selamanya..."
Pada Gelaran Festival Seni Bali Jani Ke - V yang berlangsung pada Kamis, 20 Juli 2023, bertempat di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, salah satu penampil asal Sulawesi Tengah; Lentera Silolangi - kota Palu, terlibat dalam memeriahkan salah satu rangkaian pertunjukkan dari gelaran tersebut, melalui naskah teater bertajuk Sakaya; entitas perahu dalam khazanah kebudayaan komunitas masyarakat Kaili.
Sakaya sendiri umumnya melekat pada dua pemaknaan, secara wujud ia dianggap sebagai alat transportasi sejenis perahu yang menghubungkan antara wilayah daratan dan perairan. Sementara "Sakaya" dalam konteks nilai yang tumbuh di dalam kepercayaan masyarakat lokal; dimaknai sebagai perantara bagi manusia dengan sesuatu yang bersifat gaib, atau dengan kata lain, manusia menjadi medium penghubung antara masa lalu (leluhur) dan masa kini yang terpisah oleh wujud, waktu, dan ruang. Maka berangkat dari kedua metafora itu, karya ini kemudian terlahir.
Setidaknya seperti itulah spirit yang coba dibangun oleh narasi dari naskah ini, sebagaimana metafora yang telah lama eksis di lingkungan masyarakat Kaili, etnis terbesar yang mendiami Sulawesi Tengah, tentu sebuah tanggungjawab besar tengah diemban oleh penyaji, sekaligus terdapat sebuah tantangan tersendiri dalam meramu konsep untuk kemudian dibawakan ke dalam medium seni pertunjukkan, sebab memang ada cukup banyak versi dari Sakaya dalam khazanah kebudayaan Kaili, sehingga proses kreatif  tidak akan lepas dari diseminasi yang alot nan panjang, lintas penulis naskah - Adi Wira Admaja, bersama sutradaranya - Dili  Suwarno.
Secara intrinsik, pertunjukkan teater ini terbagi atas bentuk dan ragam disipliner, baik berdasarkan pendekatan budaya tradisional maupun kontemporer yang dijahit menjadi satu pertunjukkan yang utuh; misalnya pada bagian prolog, elemen pertama yang dengan  mudah dapat dinikmati oleh penonton adalah sebuah lantunan-lantunan Gane (mantera) yang sering dirapalkan dalam upacara adat maupun ritus-ritus, sekaligus merupakan salah satu diantara banyaknya jenis tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat suku Kaili, Sulawesi Tengah.
Selanjutnya penonton akan disajikan dengan gerak-gerak teater ketubuhan, terlihat para aktor yang sedang mengenakan aksesoris melalui koreo yang syarat dengan aspek-aspek budaya pesisir dan budaya agraris yang seolah saling berbaur antara satu dengan yang lainnya, dan pada bagian ini pula di kepala saya kemudian timbul banyak sekali pertanyaan, misalnya, "Bagaimana mungkin budaya pesisir dan agraris dengan letak wilayah geografis yang berbeda dapat menyatu?", lalu secara tidak sadar, entah mengapa mata saya refleks terarah pada sisi lain pertunjukkan - sebuah artistik yang menjadi latar belakang dari pertunjukkan dari tersebut, terpampang  visual yang terasa familiar dengan simbol patung-patung megalitik yang tersebar di Kabupaten Sigi hingga Poso, tepatnya di daerah Napu, lembah Bada, dan Behoa.
Seketika saya kemudian membayangkan Sakaya ke dalam bentuk yang lain, kemungkinan dalam wujud yang lebih tua; Kalamba. Sebuah batu yang dibentuk sedemikian rupa oleh masyarakat pra-sejarah sehingga membentuk seperti sebuah tabung raksasa yang berfungsi sebagai tempat menyimpan jenazah (kuburan) manusia yang telah meninggal, dalam bahasa Behoa ia diartikan sebagai perahu dan tutupnya disebut tuatena. Â Selain itu Kalamba yang juga dipercayai sebagai simbol perahu oleh para leluhur Austronesian tersebut kemudian diibaratkan juga sebagai simbolisasi dari wujud perahu yang bertugas untuk mengantar arwah-arwah yang telah mangkat menuju alam baka.