Tulisan ini justru memberi semacam informasi awal yang sekiranya dibutuhkan untuk menuntun dalam menelaah lebih jauh; buka sekadar teks, melainkan konteks, kesan, sekaligus juga pesan yang justru datang dari sudut pandang penonton itu sendiri. Misalnya informasi ihwal penulis naskah teater tubuh; yang bertajuk “Tadulako Neolitikum Voice” tersebut berasal dari gagasan seorang akademisi, sosiolog, serta budayawan yang akrab dikenal dengan nama Hapri Ika Poigi. Ia merupakan pendiri Komunitas Seni Tadulako yang juga sejak lama terlibat aktif dalam penelitian yang berhubungan dengan masyarakat adat atau giat-giat kesenian. Berangkat dari latar belakang itulah paradigma dari pendekatan sosiologis-antropolgi akan sangat terasa dari tiap karyanya yang syarat dengan lokalitas.
Informasi semacam ini sekiranya dibutuhkan untuk menuntun penonton dalam memahami kerangka berpikir penulis dalam membangun ide pokok dan narasinya. Terlepas dari itu semua, disebabkan oleh banyaknya paradigma dalam menelaah karya, maka sebaiknya kita berfokus pada suatu nilai dasar yang menjadi tulang punggung pertunjukkan, yakni entitas Tadulako yang eksis di dalam kebudayaan pada hampir seluruh rumpun suku bangsa Austronesia di Sulawesi Tengah, termasuk suku Kaili yang mendiami lembah Palu, Sigi, Donggala, hingga Parigi. Sebab kemampuan menelaah secara kiritis, apalagi menyangkut sebuah peristiwa kebudayaan, merupakan satu dari enam jenis kemampuan literasi dasar lainnya yang kurang begitu populer; literasi kebudayaan dan kewargaan.
Kembali kita telaah tajuk naskah “Tadulako Neolitikum Voice”, yang menurut hemat saya, selain menandakan konteks zaman, frasa “batu muda” yang dimaksud juga merujuk sebagai metafora. Yang memang, dalam menguraikan sebuah metafora, memiliki tantangan tersendiri, bagi saya yang juga berstatus sebagai penonton, tajuk naskah tersebut tidak hanya mencoba menggambarkan konteks ruang dan waktu pada zaman neolitikum, yang memang justru tidak dijelaskan secara gamblang melalui pendekatan artistik, selain adanya simbol-simbol dari kebudayaan agraris; Vunja (sebuah arsitektur bangunan adat yang berdiri megah, sekitar lima sampai tujuh meter vertikal di tengah-tengah penonton).
Alhasil, terdapat pendekatan alternatif yang juga terasa lebih kontras dalam memahami metafora tersebut, misalnya pada sisi koreografi; menyoal bagaimana para aktor-aktor muda memanifestasi-kan bentuk dan gerak mereka terhadap situasi dan kondisi faktual yang mereka alami di masa sekarang, sejurus dengan semakin berjaraknya generasi muda dengan nilai kearifan lokal yang menjadi kebiasaan leluhur mereka; ritus, upacara adat, tarian tradisional dan semacamnya yang semakin terbelakang oleh produk budaya luar.
Para aktor diperhadapkan dengan relitas sosial dan kebiasaan turun temurun yang kian luntur, namun malah harus memperagakan sikap tubuh yang familiar dengan refleksi ketubuhan leluhurnya. Maka sebenaranya para aktor juga terkesan tidak begitu berbeda dengan kondisi penonton, yang mencoba menerka, sekiranya siapa sebenarnya tokoh sureal yang “datang” dari masa lalu itu, dan lantas diperankan oleh para aktor yang berkelindan di hadapan mereka. Seolah aktor dan penonton diberi ruang yang setara dalam upaya mengimajinasikan tokoh yang sedang dipentaskan.
Berbekal referensi yang menyangkut isi naskah, informasi ketokohan, interpretasi, bedah naskah, proses olah tubuh, dan olah rasa, para aktor terlihat membiarkan tubuh mereka bergerak mengikuti alam bawah sadarnya untuk menemukan sendiri siapa tokoh yang seolah hendak mereka perankan. Sebagaimana muasal kata dari suku “Kaili” yang juga berpangkal dari ungkapan “Noili” yang bermakna “mengalir”, selayaknya air, para aktor kemudian juga bertugas menjadi wadah bagi para tokoh-tokoh imajiner yang berasal dari masa lalu itu agar menyatu dengan hati dan badan mereka.
Fragmen 3
(Tadulako)
Beberapa bentuk kesenian tradisional seperti Raego dan Movunja yang kemudian dikombinasikan dengan bentuk-bentuk lain; eksperimentasi atas perkawinan multidisipliner dari berbagai macam koreo yang eksis pada masa lalu, membentuk pola gerakan yang saling bertaut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, lalu dipresentasikan secara ritmik sesuai dengan alunan musik, syair, dan alur cerita rupanya adalah simbolisasi dari masyarakat Sulawesi Tengah yang majemuk. Para aktor-aktor muda yang mengeja ketubuhannya sendiri itu lalu merespon situasi yang mereka alami sekaligus napak tilas terhadap perjalanan panjang dari kebudayaan masa lalunya; dalam artian neolitikum sebagai penanda lahirnya budaya ketika para pemipin atau Tadulako yang menjadi pelopor utama dalam proses pembentukan, pertumbuhan, sekaligus penyebaran kebudayaan itu secara masif.
Sehingga penonton yang cermat tentu akan menemukan semacam umpan balik, khususnya pada bentuk dan pola gerak yang terlihat pada bagian-bagian yang terdapat pada durasi awal pertunjukkan. Agaknya sutradara, aktor, dan penulis telah bersepaham untuk menginterpretasikan sebuah “permulaan” yang dimaksud dengan sesuatu yang berhubungan erat dengan simbol-simbol kelahiran; Tadulako.