Mohon tunggu...
Gulardi Nurbintoro
Gulardi Nurbintoro Mohon Tunggu... -

law school graduate in a state of law

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapkah Kita di "Revolusi Mental"?

23 Juli 2014   21:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:26 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 9 Juli yang lalu jutaan rakyat Indonesia berbondong-bondong untuk menggunakan hak konstitusionalnya sebagai pemilih dalam Pemilihan Presiden 2014. Rakyat Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, antara pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Semalam, Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Repubik Indonesia masa bakti 2014-2019. Oleh sebab itu patutlah kita ucapkan selamat kepada Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla atas kemenangan ini. Ucapan selamat juga patut kita sampaikan kepada pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa yang dengan partisipasinya dalam masa kampanye telah turut serta berkontribusi bagi pendewasaan masyarakat di era demokrasi ini.

Dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia, rakyat tentu berharap akan implementasi dari visi misi yang telah diutarakan selama masa kampanye. Bagi saya, visi yang paling saya tunggu adalah mengenai konsep “Revolusi Mental”. Sayangnya, sepanjang menonton debat calon presiden, saya ingat hanya sekali saja Joko Widodo mengatakan perlunya “Revolusi Mental”, namun ia kurang mengelaborasi apa itu Revolusi Mental. Oleh karena sang kandidat tidak menjelaskan definisi Revolusi Mental, di tulisan ini saya akan mencoba untuk menerka-nerka apa yang dimaksud oleh Joko Widodo.

Berkaca pada pemerintahan di kota Solo maupun di Provinsi DKI Jakarta, Joko Widodo menginginkan adanya perubahan mindset utamanya para pegawai negeri sipil dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Joko ingin me-“revolusi mental” PNS agar benar-benar memahami bahwa seorang PNS adalah pelayan masyarakat. Sejauh yang saya baca, “Revolusi Mental” Joko Widodo di birokrasi pemerintahan sudah menuju ke arah yang lebih baik.

Dalam konteks Indonesia, saya menduga Joko Widodo bermaksud untuk me-“Revolusi Mental” seluruh elemen bangsa. Ini pula yang didengung-dengungkan dalam video dukungan kepada Jokowi-JK yang menyatakan “kita harus menang total dukung Revolusi Mental”. Lalu apa itu “Revolusi Mental”? Mungkin yang dimaksud adalah hal-hal sederhana, atau paling tidak dimulai dari hal-hal sederhana. “Revolusi Mental” agar tidak buang sampah sembarangan, agar mematuhi peraturan lalu lintas ketika berkendara, agar lebih toleran kepada mereka yang berbeda, agar mau mengantri, agar tidak mencoba menyuap polisi ketika ditilang, dan seterusnya.

Berdasarkan pada apa yang saya lihat sendiri, orang Indonesia pada dasarnya memahami peraturan atau norma, sayangnya kita tidak siap apabila diminta untuk menjalankannya, terutama apabila berpotensi mengganggu kenikmatan pribadi. Minggu lalu ketika saya pulang kantor menggunakan Commuter Line, ada seorang Ibu hamil yang mencari tempat duduk. Karena tempat duduk prioritas juga sudah diduduki oleh ibu-ibu hamil lainnya, akhirnya terpaksa si Ibu mencari tempat di bangku yang non-prioritas. Kebetulan bangku non-prioritas kebanyakan diisi oleh laki-laki. Mereka mencarikan tempat duduk untuk Ibu tersebut, tetapi tidak dengan mempersilakan untuk menempati tempat duduknya sendiri. Diantara laki-laki yang duduk tersebut, bahkan ada salah satu Bapak yang berseru: “ Itu yang di kursi prioritas berdiri dong! Ada Ibu hamil nih!!”. Walhasil si Ibu tetap berdiri.

Begitu pula dalam hal berlalu lintas, ketika kita menggunakan mobil kita sering mencaci maki kelakuan pengendara motor. Tetapi saat kita mengendarai motor, kelakuan kita tidak sedikitpun berubah dengan orang-orang yang kita caci maki sebelumnya. Ketika naik bus Transjakarta kita marah pada pemilik kendaraan yang menggunakan jalur Transjakarta. Tetapi saat kita naik mobil atau motor, kemudian juga ikut-ikutan menggunakan jalur yang tidak seharusnya dilalui kendaraan selain Transjakarta.

Satu hal penting lagi yang saya amati belakangan ini adalah pudarnya daya juang bangsa Indonesia. Sebagai contoh, kritik terhadap penyelenggaraan Ujian Nasional menurut saya sudah mengarah pada titik “siswa tidak boleh tidak lulus”. Menurut saya ini tidak mendidik generasi muda untuk berjuang meraih kelulusan karena pada akhirnya toh akan diupayakan untuk lulus. Kemudian, kita sering ketakutan dengan masuknya orang atau barang asing ke Indonesia dengan alasan “infrastruktur Indonesia belum siap dan ditakutkan akan kalah bersaing dengan pihak asing”. Lalu, jika kita selalu berlindung dibalik “kita belum siap”, kapan kita bisa benar-benar bersaing dengan pihak asing?

Dengan terpilihnya Joko Widodo, “Revolusi Mental” dengan sendirinya akan dan wajib dilaksanakan. Pertanyaan terbesar bagi bangsa kita kemudian adalah: Siapkah kita untuk di-“Revolusi Mental?”

Kita semua ingin Indonesia yang bersih, siapkah kita untuk tidak membuang sampah sembarangan?

Kita semua ingin korupsi diberantas, siapkah kita untuk tidak memberi uang kepada polisi yang menilang kita?

Kita semua ingin lalu lintas lancar, siapkah kita untuk menaati peraturan lalu lintas? (Untuk wilayah DKI: siapkah untuk tidak menerabas jalur Transjakarta?)

Kita semua ingin sejahtera, siapkah kita berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan?

Kita semua ingin punya kendaraan pribadi, siapkah kita untuk tidak menggunakan BBM bersubsidi?

Ini adalah sedikit dari banyak pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri sendiri dan menjawabnya secara jujur. “Revolusi Mental” hanya akan berhasil jika seluruh elemen bangsa Indonesia mau merevolusi mentalnya sendiri. “Revolusi Mental” tidak akan pernah berhasil jika kita hanya menggantungkan diri pada seorang Joko Widodo. Untuk itu kita semua harus bekerja keras. Kemenangan Jokowi tidak akan ada artinya apabila rakyat menganggap perubahan akan datang dengan sendirinya tanpa peran serta rakyat itu sendiri.

Ada baiknya kita mengingat kembali pidato Presiden Soekarno di hari kemerdekaan tahun 1953 “ Jika kita mau hidup harus makan, yang dimakan hasil kerja, jika tidak kerja tidak makan, jika tidak makan pasti mati. Inilah Undang-Undangnya dunia, inilah Undang-Undangnya hidup. Mau tidak mau semua mahluk harus menerima Undang-Undang ini. Terimalah Undang-Undang ini dengan jiwa yang berseri-seri, dengan tidak menengadah, melainkan kepada Tuhan!”. Sebagaimana didengung-dengungkan oleh rakyat, bahwa Pemilu ini adalah kemenangan rakyat, maka rakyat juga wajib turut serta dalam pembangunan 5 (lima) tahun ke depan.

Selamat datang Pemimpin baru! Semoga masa depan berpihak pada Bangsa Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun