Mohon tunggu...
Gulardi Nurbintoro
Gulardi Nurbintoro Mohon Tunggu... -

law school graduate in a state of law

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indo dan Indonesia

4 Februari 2015   15:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:51 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1423013326769680979


Memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu di negeri orang memberikan peluang untuk memperhatikan hal-hal yang mungkin tidak terlintas di kala kita berada di dalam negeri. Kata orang cerdik cendekia, berada di luar Tanah Air memungkinkan kita untuk melihat Indonesia (maupun ke-Indonesia-an) dalam sudut pandang bird eye view mengenai segala macam isu yang berat seperti gonjang-ganjing politik, permasalahan ekonomi, dan lain-lain.

Namun saya tidak akan membahas hal-hal berat itu dalam tulisan ini. Pertama, karena sudah (terlalu) banyak orang yang menulis mengenai permasalahan-permasalahan tersebut terlepas dari kompetensi mereka. Kedua, saya memang tidak memiliki cukup keinginan dan kemampuan untuk menulis tentang hal-hal tersebut saat ini.

Permasalahan yang ingin saya singgung kali ini adalah mengenai penyingkatan. Selama saya tinggal di Amerika Serikat dan bertemu dengan saudara se-perantauan sesama Warga Negara Indonesia, saya tersadar akan suatu fenomena unik. Begitu juga ketika berinteraksi dengan rekan-rekan di forum dunia maya yang tersebar di seluruh dunia, fenomena unik ini kembali menjadi perhatian saya. Fenomena unik itu adalah bahwa banyak sekali orang Indonesia yang ketika mengatakan Indonesia kemudian menyingkatnya menjadi Indo. Saya tidak tahu alasan pasti mereka melakukan itu, bisa jadi karena Indo terdengar keren, atau sekedar lebih cepat dan sederhana karena mengatakan In-do-ne-sia akan memakan waktu sepersekian detik lebih lama.

Meskipun saya selalu mencoba untuk memahami dan berdamai dengan kenyataan itu, tetapi selalu saja sedikit timbul rasa keterusikan setiap kali mendengar penyingkatan Indonesia menjadi Indo. Keterusikan itu berada pada tingkatan yang sama dengan ketika menonton tayangan televisi kemudian melihat artis-artis menyampaikan kebanggaannya menjadi bagian dari dunia entertain, bukan entertainment. Tentu ada perbedaan mendasar antara contoh terakhir dan sebelumnya. Para artis tersebut melakukan kesalahan gramatikal dalam bahasa Inggris, sementara penyebutan Indo secara gramatikal tidak salah. Namun bagi saya, keduanya sama-sama mengganggu.

Saya kemudian teringat dengan kejadian beberapa tahun yang lalu ketika masyarakat Indonesia mempermasalahkan penggunaan kata Indon yang digunakan secara tidak resmi di negara tetangga. Kita meminta negara tetangga untuk tidak lagi menggunakan kata Indon karena memiliki konotasi negatif yang digunakan sebagai bentuk penghinaan terhadap Indonesia. Pada mulanya saya pun memiliki pandangan yang sama bahwa Indon ditujukan untuk menghina bangsa Indonesia, sampai kemudian saya berjumpa dengan beberapa warga negara tetangga yang menyebut Indon kepada saya tapi saya sadari sepenuhnya tiada maksud sedikitpun dari mereka untuk mengejek atau merendahkan. Meskipun mungkin pada mulanya ada tendensi ke arah penghinaan, namun seiring berjalannya waktu penggunaan kata tersebut tidak lagi ditujukan untuk menghina. Sama dengan orang Indonesia mengatakan Indo, pada akhirnya mereka menyebut Indon untuk sekedar membuat lebih singkat dan cepat.

Menjadi pertanyaan kemudian, mengapa orang Indonesia sampai saat ini masih marah dan tidak suka ketika bangsa lain menyebut Indon, padahal kita pun menyingkat nama negara kita menjadi Indo. Hanya berbeda satu huruf. Alasan penggunaan singkatan tersebut pun sama. Agar hemat, supaya ringkas, biar cepat.

Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa manusia harus adil sejak di dalam pikiran. Adilkah kita kepada bangsa lain untuk melarang menyingkat nama In-do-ne-sia ketika di saat yang sama kita pun melakukan hal itu? Adilkah kita kepada mereka yang berjuang sampai titik darah penghabisan agar In-do-ne-sia dapat merdeka? Adilkah kita kepada pendiri bangsa yang telah memperjuangkan agar In-do-ne-sia diakui eksistensinya di dunia? Mengapa kita menyingkat In-do-ne-sia dengan dalih untuk mempersingkat waktu padahal bangsa kita masih terkenal suka ngaret? Mungkinkah ketidakadilan di Indonesia bahkan sudah merasuk ke cara berpikir kita?

Tentu saya tidak bisa memaksa teman-teman saya, atau siapapun untuk tidak lagi menggunakan Indo ketika bermaksud menyebut Indonesia. Suatu hal yang absurd pula jika saya mengusulkan untuk misalnya membentuk Undang-Undang yang melarang setiap individu untuk menggunakan kata Indo karena toh sudah terlalu banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak jelas (yes, pun intended!). So there is no need to add to that. Tetapi alangkah baiknya jika kita mulai membiasakan diri menyebut Indonesia untuk Indonesia. Saya yakin waktu Anda tidak akan terbuang percuma untuk melakukan hal itu, paling tidak waktu Anda tidak akan se-terbuang percuma gara-gara membaca tulisan yang tidak jelas ini.

Salam.

Charlottesville, 03 Februari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun