Penulis:Nurbaiti,Sarbiyah dan Cici Apderiza Pratama
Â
Aceh, sebuah wilayah yang menakjubkan dengan sejarahnya yang kaya, memiliki lapisan-lapisan kisah yang memukau. Kerajaan Aceh, dengan gemerlapnya, tak hanya meninggalkan warisan arsitektur dan kekuatan politik, tetapi juga membawa nuansa kehidupan yang penuh warna. Dalam lensa sejarah, kita dapat memahami dan menggali kehidupan masyarakatnya yang maju, budayanya yang kaya, serta keberagaman yang memukau.
Dalam kehidupan sehari-hari di bawah pemerintahan Kerajaan Aceh, masyarakatnya hidup dalam harmoni yang kental dengan nilai-nilai keagamaan yang kuat. Budaya yang diperkaya dengan seni, kesusastraan, dan warisan sejarah menjadi inti dari kehidupan sehari-hari. Seni ukir, seni tari, serta kecakapan dalam pelayaran dan perdagangan memberi tanda kuat tentang kejayaan ekonomi dan budaya yang memikat.
Bukan hanya kehidupan sehari-hari, tetapi juga kemegahan arsitektur yang membangun identitas kerajaan ini. Bangunan-bangunan monumental, seperti Masjid Baiturrahman yang megah dan benteng-benteng pertahanan, menjadi saksi bisu dari kejayaan dan kekuatan kerajaan ini. Setiap detail arsitektur mencerminkan keindahan dan kekuatan spiritual masyarakat Aceh pada masa itu.
Aceh adalah  sebuah kerajaan yang menganut "tradisi kekuasaan" model Asia Tenggara, seorang penguasa merupakan "pusat" dari semua aktivitas kerajaan berasal.Â
Oleh karena itu, penyerahan kekuasaan kepada para bawahannya merupakan sebuah keniscayaan. Ia merupakan seorang pemegang kekuasaan juridis tertinggi yang menyerahkan kekuasaannya kepada para qadhi dan perangkat hukum lainnya.Â
Kekuasaan politik juga diserahkan kepada para penguasa lokal (uleebalang) yang diberikan secara resmi dalam bentuk "sarakata." Namun, ia juga dibantu oleh petinggi keagamaan, yang bergelar syaikh al-Islam. Syaikh al-Islam  tidak hanya bertugas mengenai keagamaan, tetapi juga berperan dalam politik yang besar, seperti deputi sultan, penasihat sultan, bahkan juga guru dari penguasa.
Dalam perjalanan sejarahnya kerajaan Aceh dikenal sebagai "pusat studi keIslaman" (center for Islamic studies) di kawasan Asia Tenggara. Seorang 'ulama' Makkah yang bernama Syaikh Ab al-Khair ibn Syaikh Ibn Hajr, datang ke Aceh untuk mengajar berbagai kajian ke-Islaman, termasuk tasawuf dan fiqih. Syaikh Muhammad Yaman, dari Yaman, juga datang ke Aceh untuk mengajarkan ilmu ushl al-fiqh. Ada juga Syaikh Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad, yang mengajar sastra Arab, logika, fiqih, ushl al-fiqh, dan bahkan tasawuf. Kegiatan intelektual para ulama pada saat  itu tidak hanya seabatas diskursus ke-Islaman yang mengambil tempat di istana dan penulisan karya-karya keagamaan, tetapi mereka juga berperan dalam lembaga pendidikan.
Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan pantai. Dengan berkembangnya Aceh sebagai kawasan pelabuhan regional dan internasional menjadikan Banda Aceh sebagai  kota yang kosmopolit yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia, baik Muslim maupun non Muslim. Para pedagang itu datang ke Aceh untuk melakukan perdagangan dan biasanya mereka menetap di sana untuk waktu yang cukup lama. Dalam budaya sastra, Aceh telah menerapkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan. Dalam hal ini, Aceh tidak hanya sukses mempertahankan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara, tetapi ia telah berhasil membawa bahasa ini menjadi bahasa intelektual ke-Islaman. Aceh pada saat itu menjadi pusat kajian ke-Islaman yang menghasilkan berbagai karya ke-Islaman dalam bahasa Melayu.
Hasil perkembangan kebudayaan kerajaan Aceh Darussalam
Bentuk fisik
Di lingkungan kerajaan sendiri secara khusus terdapat juga budaya yang berbentuk fisik  seperti bangunan masjid, taman dan lainnya. Kehidupan dalam istana juga sebagai salah satu pusat kebudayaan yang ada di Aceh karena bentuk-bentuk istana sultan dan juga kerangka-kerangka yang dapat ditemukan di dalam istana tersebut. Bangunan yang begitu mewah. nisan-nisan/makam, gedung umum, sipil dan militer. Bagunan-bangunan itu mayoritas merupakan fasilitas untuk sultan maupun anggota seperti pasukan militer.
Intelektualitas
Dibawah kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam terdapat banyak perkembangan kebudayaan ang mendasar salah satunya itu adanya kebgkitan intelektualitas. Salah satu syaikh dari yaman yaitu Syaikh Muhammad Yamani  juga datang ke Aceh untuk mengajarkan ilmu ushul al-fiqh. Syaikh Muhammad Jailani Ibn Hasan Ibn Muhammad  juga datang ke Aceh yang mengajarkan sastra arab, logika, fiqih, ushul al-fiqh dan juga tasawuf. Tidak diherankan jika di Aceh ini selalu dikenal degan tokoh pengarang terbaik  di dalam karya sastra, tasawuf dan lain sebagainya.  Bentuk-bentuk penulisan yaitu Arab dan juga Melayu, salah satu karya yang juga dapat dilihat  yaitu Bustanussalatin "taman raja-raja "  ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri. Kitab ini berisi berbagai kehidupan masyarakat seperti bentuk larangan minum-minum keras dan pelanggaran keagamaan lainnya oleh Sultan Iskandar Muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H