Mohon tunggu...
Nur BaetiFadilah
Nur BaetiFadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia dengan jurusan Pendidikan Khusus

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Suara yang Membebaskan: Memahami Kekerasan Berbasis Gender Melalui Bercerita bagi Anak Tunanetra di SLBN Citeureup Cimahi

15 Juni 2024   08:36 Diperbarui: 15 Juni 2024   08:45 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Kesehatan Reproduksi Universitas Pendidikan Indonesia program studi Pendidikan Khusus yang terdiri dari beberapa mahasiswa yaitu Fairuz Hasna Afnia, Lutviawati Nur Sabika Amani, Nur Baeti Fadilah, Rahmawaty Julia Arayana, Rifdah Hafizhah. Melakukan pembelajaran mengenai Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas pada aspek kekeraaan gender kepada salah satu peserta didik tunanetra di SLB Negeri Citeureup Cimahi jenjang Sekolah Menengah Pertama.

Kekerasan berbasis gender merupakan masalah global yang mempengaruhi berbagai kelompok masyarakat, termasuk mereka yang memiliki disabilitas. Tunanetra, atau individu yang mengalami gangguan penglihatan, sering kali menghadapi bentuk kekerasan berbasis gender yang unik dan berlapis, mengingat kerentanan tambahan yang mereka miliki. Artikel ini akan membahas mengenai salah satu aspek kekerasan berbasis gender terhadap tunanetra, tantangan yang mereka hadapi, serta solusi yang dapat diupayakan untuk mengatasi masalah ini melalui bercerita.

Bentuk Kekerasan Berbasis Gender terhadap Tunanetra

Kekerasan berbasis gender terhadap tunanetra dapat muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya:

  • Kekerasan Fisik: Tunanetra mungkin mengalami kekerasan fisik dalam hubungan rumah tangga atau oleh orang-orang yang mengeksploitasi kerentanan mereka. Karena keterbatasan penglihatan, mereka sering kali tidak dapat melindungi diri atau melarikan diri dari situasi berbahaya.
  • Kekerasan Seksual: Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang sangat serius. Tunanetra mungkin menjadi sasaran pelecehan seksual atau pemerkosaan karena pelaku menganggap mereka sebagai target yang mudah dan tidak akan mampu melaporkan atau mengidentifikasi pelaku.
  • Kekerasan Psikologis: Kekerasan psikologis dapat berupa pelecehan verbal, penghinaan, atau manipulasi yang bertujuan untuk merusak harga diri dan kepercayaan diri korban. Tunanetra sering kali diisolasi dari dukungan sosial, membuat mereka lebih rentan terhadap kontrol dan intimidasi.
  • Kekerasan Ekonomi: Kekerasan ekonomi terjadi ketika pelaku mengontrol akses tunanetra terhadap sumber daya finansial. Ini bisa meliputi pengelolaan uang korban tanpa izin atau mencegah korban bekerja dan mendapatkan penghasilan.
  • Kekerasan Digital: Di era digital, kekerasan berbasis gender juga dapat terjadi secara online. Tunanetra mungkin mengalami pelecehan melalui media sosial atau platform digital lainnya, di mana pelaku memanfaatkan teknologi untuk mengintimidasi atau mempermalukan mereka.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Tidak sedikit dari beberapa anak mengalami kekerasan di atas namun anak tidak mampu bercerita baik kepada orang tua, guru maupun teman sebaya. Banyak faktor yang menjadi penyebab anak tidak mampu bercerita salah satunya dikarenakan rasa rendah diri, malu, atau takut untuk bercerita. Dari temuan penelitian kelompok A2 Pendidikan Khusus menemukan anak yang belum mampu menghindari kekerasan fisik yang dilakukan oleh orang lain serta anak belum mampu mengatasi dan mengambil sikap saat mengambil sikap saat mendapatkan kekerasan psikologi. Oleh karena itu, kelompok tergerak untuk memberikan pemahaman melalui program khusus terhadap anak dengan topik “Menceritakan kembali apa yang dialami dan akibat-akibatnya dari berbagai bentuk kekerasan”
Program ini diharapkan dapat membuat anak dapat mampu bercerita terhadap lingkungannya seperti orang tua, guru dan teman serta dapat membantu anak untuk pulih dan dapat melanjutkan hidupnya. Pada pelaksanaan program dilakukan melalui berbagai kegiatan serta media. Melalui pendekatan video interaktif dalam penyampaian informasi dapat membantu anak dalam memahami materi mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan jika mengalami kekerasan seksual dengan baik. Selain itu, melalui kegiatan story telling, analisis artikel serta bermain kartu “ngobrol yuk! ; Edisi kekerasan berbasis Gender” untuk anak dengan hambatan penglihatan dapat membuat anak dapat merasa lebih terpatik untuk bercerita terhadap lingkungan terdekat yang anak rasa nyaman dan dapat dipercaya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun