Kau selalu berteriak dengan bangga bahwa kau terlahir dari rahim perisai itu
Marahmu akan berapi-api ketika ada yang berani menginjak-injak perisaimu
Tapi kenapa ?
Perisai yang selalu kau rawat dengan tabah
Perisai yang bermandikan darah dan air mata
Kenapa kini malah kau lukai ?
Tak sadarkah dirimu wahai sahabatku
Perisai itu rumahmu
Rumah tempatmu bernaung mempertajam nalar
Rumah tempatmu bersandar melepas segala keserahan
Perisai itu yang menjadi saksi pada segala
Perih
Pilu
Bahagia kita
Apa kau sudah lupa akan makna dari kata sahabat ?
Apa kau sudah lupa akan arti indah dari salam
Wallahul Muwafieq Ilaa Aqwamith Tharieq ?
Jika kau telah lupa
Maka mari mengingat kembali
Mari maknai ia kembali dari hati bukan pakai emosi sahabat
Sudah cukup sahabat
Hentikanlah badai ini
Tak rindukah engkau pada masa-masa dimana kita kokoh dalam perisai seperti dulu ?
Tak sayang dan cintakah engkau pada perisaimu ?
Tak ibakah engkau pada wajah-wajah polos dalam perisai yang selalu meminta belas kasih darimu ?
Belum puaskah ketika engkau menyaksikan ketidak nyamanan mereka saat belajar karena diseret-seret oleh badai darimu ?
Belum puaskah engkau lukai perisaimu sendiri ?
Belum puaskah sahabat ?
Jika kau sudah tak nyaman lagi menetap dalam perisai
Maka pergilah sahabat
Menyikirlah dalam perisai itu
Aku sudah muak menyaksikan perisaiku berdarah karena ulahmu
Namun jika kecintaanmu pada perisai telah mendarah daging dan tak akan lekang oleh waktu
Maka berhentilah membuat gaduh sahabatku
Mari saling berbenah
Rangkul kembali puing-puing yang berserakan itu
Jaga dan rawatlah perisai itu kembali sebagaimana tujuan kita bersama
Sebab kita tetap satu dalam perisai..
Lentik jemari :
Nurazizah Ulayo..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H