Mohon tunggu...
Nurazizah istiqomah
Nurazizah istiqomah Mohon Tunggu... Konsultan - mahasiswa

aku

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mafia Catur

17 Maret 2023   20:43 Diperbarui: 17 Maret 2023   20:45 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berjalan beriringan bergumam paling depan tentunya bukan yamaha, dapat dibayangkan bahwa moralitas pada setiap bendera berbeda-beda namun ada satu  pemain catur bertindak bagaikan ratu bertanding dengan kusir 'tak apah bertopeng pion asal berposisi sang penentu tulen' bijaknya nyaris nihil dikalangan sejarah

Sementara peluang menggantikan figur ibu yang bergaya low context communication koronilnya si pion lah yang memilki ultimatum tepat dalam mencetak anggaran, sangat disayangkan para pemain tertinggi tak tau menauh dan tak mampu menebak siapa pemegang pin tersebut, perlu disinggung bahwa adanya mess understanding antara berdewa dan merdeka pentingnya kompas dalam berdomestik ini tak diterapkan bukan?

Berantingnya berbagai perpecahan tak patut lagi melihat lawan dan kawan yang berdalih layaknya bisa berjalan empat kaki. para praduga memang acap kali terbuai dalam bagian permainan sabda yang diutus oleh kuda kuda menurut George orwell  ini sang pekerja keras, kecolongan lebih tepatnya. begitulah memang sering kali terperangkap dalam kewarasan seperti babi yang berperan pintar dalam bukunya

Mengamati kenyataan berbekal kehampaan itulah proporsional yang saya satukan bagaimana jika kita salah menduga jalan tol bermainnya, ini seperti kisah bank bali yang tak dikepalai seperti yang saya hembuskan bila pemain gajah pemenangnya dan lagi lagi pion yang kalah atau hilang maka dipastikan keyakinan dalam kebuntuan permainan ini yang terjadi

Tak perlu menang asal mampu menendang agak berjejal namun dalam bongkahan pertandingan adu nyawa nampaknya ada dinding-dinding determinan yang bergelumut seraya ular dalam konglisi memberi sisa makan kepada anjing-anjing yang memeluk primordial namun gemar bernapas hitam,dua pertanyaan sederhana pertama perlukah mereka mengganti cara mainnya?  Kedua haruskah mereka mengganti pemainnya ?

Saking seriusnya, sampai lupa siapa pemain utama dalam tandingan ini namun dalam pertandingan di final si gajah takkan lupa siapa yang membiusnya, kita pikirkan saja tak ada benalu yang overdosis dalam permainan yang terlalu bersifat adronitis walau faktanya ada sebagian pemain yang telah tertimbun bahkan terkondensasi antara nilai dan makna bermain, lalu siapakah dia, dari kalangan manakah, petinggi kah atau....   jangan terburu buru nikmati saja jamuannya seperti ketika menunggu taggal 20 mei 1998 terjadi. kala itu anda agresif dan cerdik walau ada jilid 2 

Kita doakan saja kemanusiaanya yang secara dogmatis menjadi melekat dan jangan sampai bertaring kalaupun sudah dijinakkan kita kembali ke aturan mainnya agar patutnya membuahkan bibit bibit baru yang tak mangidap sikap mendua, perlu diuraikan secara merata bila mana akhir permainan ini menumbuhkan kebuasan walau takan pernah puas ini sangat dikhawatirkan, jadi siapa yang perlu dikhawatirkan? Si pengembiri atau yang mengembiri tak dapat dipastikan adab mana yang tertinggi

Katika si pion sudah memilki sifat fatalisme dengan secara terlihat semua pemain akan mengenalkan si pion sebagai mentalitas jajahan yang takkan memberikan mereka ruang untuk bernalar secara murni harus dikatakan bahwa pion tak begitu bodoh daripada kebodohan itu sendiri bukankah kita perlu mata dan kedua tangan yang cukup sehat untuk membidik panah ke arah lawan maupun kawan secara sederhana ketika kata lapar diasingkan maka siapa yang akan bertahan

Jadi siapakah kita? Siapakah saya? Siapakah anda dalam permainan ini betulkah kita ini raja yang sejak tadi tak disebut namanya atau lebih cocok sebagai kuda?  itu hanya pertanyaan menggolok saja, ada perkumpulan petani bertanya kapankah mulainya permainan ini dan siapa pemandunya,kita amati seandainya dunia ini ada tanpa makhluk berakal akankah, masikah, siapakah yang menyebut 'ini dunia' dilatar belakangi bahwa ketika kata harapan itu dibuat mampukah binatang mengujudkannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun