A. Masalah/Isu
Pada tahun 2024, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi yang kompleks, dipengaruhi oleh dinamika domestik dan global. Salah satu isu utama adalah penurunan harga komoditas global, yang secara signifikan memengaruhi surplus perdagangan. Komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan nikel, yang menjadi andalan ekspor Indonesia, mengalami penurunan harga di pasar global. Hal ini berdampak langsung pada pendapatan negara dari sektor ekspor, mengurangi surplus perdagangan yang pada tahun 2023 tercatat sebesar US$36,91 miliar, turun 32,22% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini menjadi pengingat pentingnya diversifikasi ekonomi dan hilirisasi untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah (PricewaterhouseCoopers, t.t.).
Ketergantungan konsumsi domestik sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi menjadi isu berikutnya. Pada tahun 2023, konsumsi domestik menyumbang 57% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menjadikannya pilar utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, ketergantungan yang tinggi terhadap konsumsi domestik memiliki risiko tersendiri. Jika daya beli masyarakat melemah akibat inflasi atau perlambatan ekonomi global, hal ini dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Walaupun kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) sebesar 8% dan peningkatan belanja terkait pemilu diharapkan menjadi stimulus konsumsi, keberlanjutan pertumbuhan membutuhkan strategi jangka panjang untuk memperkuat sektor lainnya.
Dari sisi global, ketidakpastian ekonomi akibat kebijakan moneter ketat di negara-negara maju dan perlambatan ekonomi Tiongkok juga menjadi tantangan besar. Bank-bank sentral negara maju, termasuk The Federal Reserve di Amerika Serikat, terus mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi untuk menekan inflasi. Kebijakan ini tidak hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi global, tetapi juga memengaruhi aliran investasi asing langsung (FDI) ke negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu, sebagai mitra dagang utama Indonesia, perlambatan ekonomi Tiongkok berpotensi mengurangi permintaan terhadap produk ekspor Indonesia, memperburuk dampak penurunan harga komoditas (Said, 2022).
Depresiasi nilai tukar Rupiah, yang mencapai level terendah dalam 3,5 tahun terakhir di Rp16.249/US$ pada April 2024, menambah kompleksitas masalah ekonomi. Pelemahan nilai tukar ini disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal, seperti kebijakan hawkish The Federal Reserve, dan internal, seperti perlambatan ekspor. Depresiasi Rupiah meningkatkan biaya impor, terutama untuk bahan baku industri, yang pada gilirannya dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik. Isu lainnya adalah tantangan inflasi, khususnya dari sektor pangan dan bahan bakar. Pada tahun 2023, inflasi berhasil ditekan hingga 2,61% berkat kebijakan moneter yang efektif. Namun, pada 2024, inflasi diperkirakan berada pada level 2,6%, dengan risiko meningkat akibat volatilitas harga pangan global, gangguan rantai pasok, dan ketidakstabilan harga energi. Situasi ini membutuhkan strategi mitigasi yang solid, seperti penguatan cadangan pangan dan peningkatan efisiensi distribusi untuk menjaga kestabilan harga di dalam negeri.
Tantangan-tantangan ini menuntut pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam memperkuat daya tahan ekonomi nasional, mengoptimalkan konsumsi domestik, mendorong investasi asing, serta mempercepat transformasi struktural menuju ekonomi yang lebih tangguh dan terdiversifikasi (Nasution, 2023).
B. Dampak Negatif Masalah
Berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 2024, seperti penurunan harga komoditas global, ketergantungan konsumsi domestik, pelemahan nilai tukar Rupiah, dan ketidakstabilan sektor informal, berpotensi menimbulkan sejumlah dampak negatif yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Penurunan daya saing ekspor merupakan salah satu dampak langsung dari turunnya harga komoditas global. Sebagai negara yang mengandalkan ekspor produk komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan nikel, Indonesia menghadapi pengurangan pendapatan dari ekspor akibat penurunan harga di pasar internasional. Hal ini menyebabkan surplus perdagangan yang lebih sempit, yang pada tahun 2023 turun hingga 32,22% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini berdampak buruk pada neraca pembayaran dan mengurangi aliran devisa yang dibutuhkan untuk mendukung stabilitas ekonomi makro. Ketergantungan yang tinggi pada ekspor komoditas mentah juga mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar global, terutama dibandingkan dengan negara yang telah melakukan hilirisasi dan diversifikasi produk ekspor.
Ketergantungan pada konsumsi domestik sebagai penggerak utama ekonomi menciptakan kerentanan jika daya beli masyarakat melemah. Konsumsi domestik menyumbang 57% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2023, tetapi fokus yang terlalu besar pada konsumsi tanpa penguatan sektor lain, seperti manufaktur dan teknologi tinggi, meningkatkan risiko ketidakstabilan ekonomi. Penurunan daya beli akibat inflasi, pengangguran, atau ketidakpastian ekonomi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Selain itu, ketergantungan konsumsi domestik juga membatasi potensi pertumbuhan jangka panjang, mengingat kontribusi sektor lain seperti investasi dan ekspor masih belum optimal.
Pelemahan nilai tukar Rupiah, yang mencapai Rp16.249/US$ pada April 2024, juga menimbulkan sejumlah dampak negatif. Depresiasi Rupiah meningkatkan biaya impor bahan baku dan barang modal, yang pada akhirnya dapat memengaruhi harga barang jadi di dalam negeri. Kondisi ini berkontribusi pada inflasi yang lebih tinggi, khususnya pada sektor pangan dan energi. Selain itu, pelemahan nilai tukar menurunkan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI), karena risiko nilai tukar yang lebih tinggi membuat investor cenderung mencari pasar yang lebih stabil. Akibatnya, pertumbuhan investasi asing yang ditargetkan sebesar Rp1.650 triliun pada tahun 2024 mungkin sulit tercapai, yang pada gilirannya menghambat penciptaan lapangan kerja baru dan transfer teknologi.
Gangguan pada sektor informal juga menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial-ekonomi. Dengan lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal, fluktuasi ekonomi global berdampak langsung pada pendapatan dan keamanan pekerjaan mereka. Sektor informal sering kali kurang terlindungi oleh kebijakan pemerintah dan cenderung lebih rentan terhadap perubahan permintaan pasar atau tekanan biaya hidup akibat inflasi. Penurunan pendapatan di sektor ini tidak hanya memperburuk kesenjangan sosial, tetapi juga dapat mengurangi daya beli masyarakat secara keseluruhan, menciptakan lingkaran negatif bagi perekonomian domestik (Hermawan dkk., 2024).
Secara keseluruhan, tantangan-tantangan ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 5,2% pada tahun 2024 jika tidak diatasi dengan kebijakan yang tepat. Risiko-risiko ini juga dapat mengurangi daya tahan ekonomi nasional terhadap guncangan global, sehingga memperbesar kebutuhan akan reformasi struktural yang mendalam.
C. Solusi/Rekomendasi Kebijakan
Untuk mengatasi berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 2024, pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan yang tidak hanya merespons masalah jangka pendek, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi jangka panjang. Beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diambil antara lain sebagai berikut (Budi dkk., 2021):
1. Diversifikasi Ekonomi
Ketergantungan Indonesia pada komoditas harus segera dikurangi dengan mempercepat proses hilirisasi industri. Pengembangan produk bernilai tambah akan membuka peluang pasar ekspor yang lebih luas, sekaligus mengurangi volatilitas yang disebabkan oleh fluktuasi harga komoditas global. Misalnya, pengolahan nikel menjadi baterai atau pengembangan produk kelapa sawit yang lebih bernilai, seperti biodiesel dan kosmetik, dapat menjadi sektor unggulan baru. Selain itu, diversifikasi ini juga dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja, meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional, serta mengurangi ketergantungan pada sektor primer.
2. Stabilitas Nilai Tukar
Untuk menghadapi pelemahan nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia perlu mempertahankan kebijakan moneter yang responsif dengan meningkatkan cadangan devisa negara dan menerapkan strategi intervensi yang lebih efektif di pasar valuta asing. Meningkatkan transparansi kebijakan dan memperkuat cadangan devisa akan memberikan keyakinan kepada pasar internasional terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Selain itu, menjaga stabilitas Rupiah juga penting untuk mengendalikan inflasi, khususnya dalam sektor impor seperti pangan dan energi.
3. Optimalisasi Konsumsi Domestik
Mengoptimalkan konsumsi domestik sebagai pendorong utama ekonomi dapat dilakukan dengan memperkenalkan program bantuan sosial yang lebih efektif, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang ditujukan pada keluarga berpendapatan rendah. Selain itu, peningkatan upah minimum secara bertahap akan membantu memperbaiki daya beli masyarakat. Pemerintah juga dapat memanfaatkan peningkatan belanja terkait pemilu sebagai stimulus ekonomi, dengan fokus pada pengeluaran yang dapat mendorong konsumsi, seperti belanja publik untuk infrastruktur dan program sosial.
4. Memperluas Sektor Formal
Pemerintah perlu mendorong transisi pekerja dari sektor informal ke sektor formal. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan insentif bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) untuk mendaftarkan pekerjanya dalam sistem jaminan sosial. Insentif berupa pengurangan pajak atau subsidi biaya administrasi akan mengurangi hambatan bagi UMKM untuk masuk ke sektor formal, yang pada gilirannya dapat meningkatkan perlindungan bagi pekerja serta memperluas basis pajak negara.
5. Kemitraan Internasional
Peningkatan hubungan dagang strategis dengan negara-negara berkembang, terutama dengan sesama negara ASEAN dan negara-negara Afrika yang sedang berkembang, akan membuka pasar baru bagi produk Indonesia. Pemerintah perlu lebih agresif dalam memperluas jaringan perdagangan, mengurangi hambatan perdagangan, dan mengidentifikasi peluang baru dalam sektor-sektor teknologi tinggi dan manufaktur. Dengan memperluas akses pasar ekspor, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional seperti Tiongkok, yang saat ini mengalami perlambatan ekonomi.
Dengan langkah-langkah kebijakan ini, Indonesia dapat menghadapi tantangan ekonomi tahun 2024 dengan lebih baik, memastikan pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
D. Best Practice
Vietnam Diversifikasi Ekonomi Melalui Sektor Teknologi dan Manufaktur
Vietnam telah berhasil mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas dengan berfokus pada diversifikasi sektor ekonominya. Negara ini menginvestasikan sumber daya besar dalam sektor teknologi tinggi, tekstil, dan manufaktur, sehingga menciptakan basis ekonomi yang lebih beragam dan tahan terhadap gejolak harga komoditas. Salah satu contoh keberhasilan Vietnam adalah perkembangan sektor elektronik, yang kini menjadi salah satu kontributor utama ekspor negara tersebut. Indonesia dapat mencontoh kebijakan ini dengan mendorong pengembangan sektor-sektor seperti teknologi informasi, otomotif, dan industri pengolahan produk bernilai tambah. Pemerintah Indonesia dapat memberikan insentif fiskal dan mempermudah regulasi untuk menarik investasi di sektor-sektor ini, sehingga memperkuat ekonomi domestik dan mengurangi ketergantungan pada komoditas.
Brasil Mengelola Fluktuasi Nilai Tukar dengan Intervensi Pasar Valas
Brasil menghadapi tantangan besar dalam mengelola fluktuasi nilai tukar, tetapi berhasil menjaga stabilitas ekonomi dengan mengimplementasikan kebijakan intervensi pasar valas yang efektif. Pemerintah Brasil secara aktif melakukan pembelian dan penjualan mata uang untuk mengontrol nilai tukar dan memperkuat cadangan devisa negara. Indonesia dapat mengadopsi kebijakan serupa dengan meningkatkan cadangan devisa dan menerapkan strategi intervensi yang transparan dan responsif untuk meredam depresiasi nilai tukar Rupiah. Kebijakan ini akan membantu menjaga stabilitas ekonomi domestik, mengurangi dampak inflasi, dan memperkuat kepercayaan investor asing.
India Program "Make in India" untuk Mendorong Investasi Asing dan Sektor Manufaktur
India berhasil mengubah peta industri manufaktur melalui inisiatif "Make in India," yang bertujuan untuk menjadikan India sebagai pusat manufaktur global. Program ini menarik investasi asing langsung (FDI) dalam sektor manufaktur dengan memberikan insentif berupa kemudahan regulasi, insentif pajak, dan pembenahan infrastruktur. Indonesia dapat meniru strategi ini dengan mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk menarik investasi asing langsung, terutama di sektor teknologi dan manufaktur. KEK yang difokuskan pada inovasi dan produk bernilai tambah dapat memperkuat sektor manufaktur Indonesia, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas.
Dengan menerapkan praktik-praktik terbaik ini, Indonesia dapat mengatasi tantangan ekonomi yang ada, meningkatkan ketahanan ekonomi, dan menciptakan pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
E. Kajian Empiris
1. Pengaruh Kebijakan Hilirisasi
Kementerian Perindustrian (2023) melakukan kajian terhadap dampak kebijakan hilirisasi, khususnya dalam sektor nikel. Hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel telah memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan nilai tambah ekspor logam. Hilirisasi nikel yang mencakup pembangunan smelter dan pengolahan lebih lanjut, menghasilkan produk dengan nilai jual lebih tinggi, mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan meningkatkan potensi pendapatan negara. Namun, meskipun dampak positif ini sudah terlihat, penciptaan lapangan kerja yang signifikan masih memerlukan waktu, karena proses pengolahan dan manufaktur produk nikel membutuhkan investasi yang cukup besar dan peningkatan keterampilan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa hilirisasi dapat menjadi salah satu strategi untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas, tetapi perlu pendekatan yang lebih terencana dan bertahap agar dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas.
2. Konsumsi dan Daya Beli
Studi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 menyoroti pentingnya konsumsi domestik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi domestik tercatat sebagai kontributor terbesar terhadap PDB Indonesia, dengan elastisitas konsumsi terhadap peningkatan pendapatan sebesar 0,8. Ini berarti bahwa setiap peningkatan pendapatan rumah tangga akan berpotensi meningkatkan konsumsi, yang pada gilirannya akan mendukung perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, peningkatan daya beli masyarakat melalui kebijakan yang mendukung kesejahteraan sosial, seperti peningkatan upah dan program bantuan sosial, menjadi penting untuk menjaga konsumsi tetap tumbuh stabil. Stabilitas konsumsi domestik dapat menjadi penyangga ketika sektor eksternal mengalami gejolak, seperti penurunan harga komoditas global atau ketegangan ekonomi internasional (Prayuda, 2019).
3. Peran Investasi Asing
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa investasi asing langsung (FDI) memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia, khususnya di sektor infrastruktur. Proyek infrastruktur yang didanai oleh investasi asing terbukti memiliki dampak multiplier yang positif bagi pertumbuhan ekonomi lokal, dengan setiap investasi asing menghasilkan dampak pertumbuhan ekonomi lokal sebesar 1,5 kali lipat. Hal ini membuktikan bahwa investasi asing tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga mendorong pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan konektivitas dan efisiensi ekonomi nasional. Dengan terus memfokuskan pada penciptaan iklim investasi yang stabil dan menguntungkan, Indonesia dapat mempercepat pembangunan dan meningkatkan daya saing global.
Dengan kebijakan yang tepat dan implementasi yang konsisten, Indonesia berpotensi mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada tahun 2024. Kajian empiris ini memberikan bukti bahwa dengan memanfaatkan kebijakan hilirisasi, memperkuat konsumsi domestik, serta meningkatkan investasi asing, Indonesia dapat memperkuat ketahanan ekonominya di tengah tantangan global yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H