Selasa, 15 Oktober 2024 - Lembaga Semi Otonom (LSO) Tax Center FEB UIN Jakarta yang berada dibawah naungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN JKT) mengadakan webinar nasional yang bertema:
 "Menganalisis Implikasi Perubahan Kebijakan Pajak Terbaru dengan Menggali Dampak dari Kenaikan PPN 12% di Era Pemerintahan 2025"
Pada webinar ini, Tax Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggandeng pemateri, yakni Dedi Kusnadi, S.T., M.Si selaku Penyuluh Pajak Ahli Madya Kanwil DJP Banten. Beliau memiliki pengalaman luas di bidang perpajakan, mulai dari KPP Purwokerto (2002), KPP Yogyakarta Dua (2005), KPP Pratama Singkawang (2007), KPP Pratama Pontianak (2010) hingga KPP Pratama Ciamis (2012). Selanjutnya, beliau juga pernah bertugas di KPP Pratama Tasikmalaya (2015), KPP Pratama Cirebon Dua (2018), dan kini di Kanwil DJP Banten sejak 2021.
Mengapa PPN akan dinaikkan menjadi 12%?Â
Salah satu latar belakang tarif PPN dilakukan penyesuaian dari 11% menjadi 12% pada awal tahun 2025 yaitu C-Efficiency. "C-Efficiency adalah besarnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bisa dikumpulkan dari potensi. Jadi, kita (Indonesia) hanya mampu mengumpulkan PPN sebanyak 63,58% dari potensi 100%". Ungkap Dedi dalam Webinar.
Mengapa PPN yang diperoleh Indonesia masih sebanyak 63,58% dari 100%?
Menurut Dedi, hal ini terjadi karena:
- Adanya barang dan jasa yang belum masuk ke dalam sistem, contohnya adalah barang kebutuhan pokok. Ia termasuk barang non BKP.
- Adanya jasa-jasa tertentu yang belum masuk kedalam sistem, yakni jasa non JKP.Â
Berdasarkan (www.pajak.go.id) ada beberapa sektor yang kontribusi PPN-nya sangat rendah dibandingkan sektor yang lain, yakni sektor pertanian (1,7%), pertambangan (2,1%), jasa keuangan (1,3%), jasa pendidikan (0,1%), dan jasa kesehatan (0,2%).
Dedi mengambil contoh realisasi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) pada tahun 2020. Beliau menjabarkan beberapa sektor dengan Penerimaan Perpajakan yang sedikit, diantaranya: Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, dan Sektor Pertanian. Belanja negara untuk Sektor Pendidikan yaitu sebesar Rp. 455,66 T sementara penerimaan perpajakannya hanya Rp. 2,95 T. Ini berarti dana yang dibutuhkan sangat besar, namun penerimaan pajaknya tidak ada (sangat sedikit). Selanjutnya belanja negara untuk Sektor Kesehatan yaitu sebesar Rp. 193,4 T sementara penerimaan perpajakannya hanya Rp. 27,15 T. Penerimaan pajak ini hanya diperoleh dari industri farmasi, perdagangan obat dan alat kesehatan, serta jasa kesehatan. Hal ini sangat tertekan saat pandemi Covid-19, karena pemerintah banyak memberikan insentif, subsidi, fasilitas untuk berbagai sektor termasuk kesehatan. Begitupula dengan Sektor Pertanian, belanja negaranya sebesar Rp. 114,36 T sementara penerimaan perpajakannya hanya Rp. 13,5 T. Sangat kecil karena di sektor pertanian ini banyak produk-produk yang dikategorikan bukan BKP, yakni banyak yang dibebaskan tidak terkena pajak.
Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP)Â
Dedi juga menyebutkan, dengan adanya UU baru, semua barang dan jasa adalah BKP dan JKP agar dapat masuk ke sistem dan dapat di pantau perkembangannya meliputi produksinya darimana, produknya lari kemana, hingga siapa yang mengonsumsi dapat di pantau secara sistem. Sehingga, kontribusi PPN dari sektor-sektor tersebut dapat signifikan dan tidak timpang di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).Â
Perlu diketahui bahwa rencana kenaikan tarif PPN yang semula 11% (sejak 1 April 2022), menjadi 12% (akan berlaku mulai 1 Januari 2025) ini telah tercantum di dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP Pasal 7 ayat 1.
"Kita menyesuaikan kenaikan tarif PPN itu bukan serta merta, bukan tiba-tiba. Karena kita juga bergaul dengan negara-negara luar karena di situ ada kesepakatan-kesepakatan, ada kaitannya dengan investasi dan ekspor. Ketika kita dikucilkan dari negara-negara yang lain, maka negara-negara lain tidak akan investasi ke Indonesia karena kita tidak dipercaya. Demikian juga barang-barang kita tidak bisa di ekspor karena mereka tidak mau menerima. Jadi, kita harus ikut aturan internasional." Ujar Dedi.
Dengan demikian, investasi dan ekspor yang lancar akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil, yang pada gilirannya akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan dan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan cara ini, ekonomi kita bisa terus berkembang dan bergerak maju.  Â
Bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 bertujuan untuk meningkatkan kontribusi pajak dari sektor-sektor yang kontribusinya selama ini rendah. Hal ini diperlukan untuk mengoptimalkan C-Efficiency, yaitu persentase realisasi penerimaan PPN dibanding potensi yang seharusnya, yang saat ini baru mencapai 63,58%. Beberapa sektor seperti pertanian, kesehatan, dan pendidikan menyumbang porsi PPN yang kecil meskipun mendapatkan alokasi anggaran besar dalam APBN. Dengan penyesuaian ini, diharapkan seluruh barang dan jasa dapat masuk dalam sistem perpajakan, sehingga penerimaan pajak dapat ditingkatkan, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya dalam konteks investasi dan ekspor sesuai standar internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H