Mohon tunggu...
Nuraziz Widayanto
Nuraziz Widayanto Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis apa saja sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seri dan Nyeri

26 Maret 2011   05:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:25 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Bapak-bapak itu bekerja keras banting tulang, saya rasa itu sangat inspiratif untuk dijadikan cerita mas. dan ini akan saya jadikan film saya yang pertama, agar semua orang bisa mengambil hikmah."

Aku merengut. sudah berulangkali anak ini mengatakan hal-hal yang menurutnya inspiratif. mungkin dia perlu bertemu dengan orang-orang yang setiap hari kerja keras. mungkin dia perlu melihat bahwa kuli bangunan, tukang sampah dan para pekerja pabrik sudah sangat biasa dengan banting tulang. sepulang dari rumah, mereka tidak akan mau lagi menonton apa yang dinamakan kerja keras ini. inspiratif darimana? film seperti itu hanya akan menginspirasi orang-orang kaya agar bersyukur, itu jika mereka mau nonton tapi tidak untuk rakyat kecil yang setiap hari juga sudah banting tulang. Rakyat kecil ini tak akan terinspirasi dengan kisah mereka sendiri. Mungkin mereka lebih terinspirasi dengan orang-orang kaya dalam sinetron. Dalam hati mereka berjanji, jika nanti aku kaya aku takkan jadi seperti mereka.

"Bagaimana menurut mas?"
"Bagus!"
"Bener Nih?"
"Serius! aku bantu sebisaku deh"
"Saya tak ingin seperti sinetron-sinetron itu mas, hanya menjual mimpi"

Aku mengangguk. Anak ini terlonjak girang ketika aku menganggukan kepala dan setuju akan membantunya. ah, berkarya, berkarya dan berkarya hanya kalimat itu yang ingin aku sampaikan. Entah isinya apa. Setiap karya yang serius dibuat pasti ada gunanya.

"Apa yang kurang mas?"

Begitu dua bulan ini dia berkutat dengan karya. semua waktu dan tenaga dicurahkannya. semua untuk karya. dan hari ini dia mendapati kerut keningku? ah tidak, aku harus segera tersenyum. dia harus menerima apa yang dia berhak menerima. sebuah pujian? ah, karyanya tidak terlalu menarik menurutku.

"Banyak kekurangan dalam filmmu."

dan sejam setelah itu aku melontarkan semua kritikan yang ada didalam kelapaku. kakiku sudah lemas. aku seperti tak sanggup melanjutkan. aku bahkan ingin menangis terbayang kesusahannya dalam membuat karya. dan kakiku semakin lemas kala melihat wajahnya tampak menahan gejolak batin dan egonya. karyanya aku lecehkan sedemikian rupa. aku kuatkan ekspresi dingin wajahku saat selesai membahas karyanya. dia tampak kecewa. aku sangat yakin anak ini tahan kritik. aku yakin anak ini akan menjadi sineas besar suatu hari nanti.

"Aku tunjukan sesuatu padamu"

aku segera membuka explorer dan klik sebuah file. sebuah film yang buruk terpampang. anak ini semakin merengut. dalam hatinya mungkin, film yang jelek sekali. 20 menit berlalu dan film buruk itu berlalu.

"Bagaimana menurutmu?"
"Jelek!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun