“Dan apakah kemudian kamu menjadi penasaran tentang pemalsu tulisan tangan?”
Pagi ini Bu Sri sudah menatapku dengan tatapan yang sangat tajam. Terhitung sudah hampir setengah jam matanya menjelajahi semua bahasa wajahku.
“Dan apakah kemudian kamu merasa menjadi bagian dari cerita di buku diary tersebut?”
Berondongan pertanyaan Bu Sri tidak satupun aku jawab. Dan memang tidak mudah menjawab itu semua. Ada bentuk-bentuk ketidaktenangan dari semua wilayah pemikiran dan rasa, seperti sedang gempa dalam raga dan jiwaku. Kekasihku bernama sama, juga hampir mempunyai pemikiran yang sama dengan cerita diary tersebut.
“Johan, hanya ada satu pemalsu tulisan tangan terbesar sepanjang sejarah. Konrad Kujau, si pemalsu tulisan tangan hitler. Dari pemalsuannya, semua kisah hitler bisa dibolak-balikkan dengan mudah. Palsu dan asli, Fiksi atau nyata tak pernah punya garis tegas jika sudah berada di kepala manusia.”
“Iya tapi ini terlalu banyak kebetulan Bu!”
Akhirnya aku mendebatnya dengan nada tinggi.
“Apa yang disebut kebetulan adalah kerja pikiran manusia dalam menghubungkan satu tanda dengan tanda lainnya. Dan sepertinya itu sudah fitrah.”
Kembali aku terdiam. Aku menyepakati semua kata Bu Sri. Tapi rasa penasaran adalah dorongan. Keingintahuan adalah kekuatan sekaligus kelemahan manusia. Dan ujung dari semua itu adalah ketidaktenangan.
“Sudahlah Han, seandainya gunung Tangkuban Perahu juga punya rasa penasaran apakah dia akan menggugat kisah Legenda sangkuriang?”
“Saya hanya ingin tahu siapa pemalsu tulisan tangan itu!”
“Bagaimana jika memang Nonik yang menulis kemudian dia tidak mengakuinya?”
“Apa alasan dia tidak mengakuinya?”
“Barangkali karena kau tunjukkan itu dihadapan kekasihnya? Bahwa kemudian diary itu adalah sebuah kisah nyata yang difiksikan. Kisah dia dengan wisnu dan barangkali dia tidak mau wisnu tahu tentang itu?”
Aku masih terbayang wajah Nonik yang dengan tegas menolak itu tulisannya. Aku juga masih teringat reaksi wisnu yang hanya tersenyum mengiyakan.
“Banyak orang yang ingin bercerita tetapi terkadang tidak tahu untuk apa dia harus bercerita. Alasan bisa banyak, dari mulai mengisi waktu luang, berimajinasi atau mungkin hanya ingin menunjukkan dia pintar bercerita. Dan peradaban ini memang sudah tersusun dengan cerita. Kitab suci semua cerita. Manusia membutuhkan cerita. Mungkin untuk bergabung dengan dunia, atau mungkin hanya ingin menghilangkan rasa kesendirian.”
Ya. Aku sudah mulai tenang dengan semua ‘pidato’ Bu Sri, namun kembali wajah kekasihku datang dalam pikiranku. Ah ingatan-ingatan.
“Theos”
Aku bergumam lirih dan Bu Sri menyambut dengan senyuman.
“Dan semua orang ingin berada dalam cerita atau malah menjadi pencerita. Mau fiksi atau nyata, bagi pembacanya, itu cerita.”
Aku menatap Bu Sri yang tersenyum.
“Bagi penceritanya bu?”
“Bagi penceritanya, mau fiksi atau nyata, itu keinginan yang ingin dibuat nyata. Dah ya johan?”
Aku menggeleng. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Satu hal yang ingin aku dengar.
“Apakah Bu Sri ingin membuatnya nyata?”
Bersambung …
*kembali menulis, semoga berkenan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H