Tentang nama. Meski sudah 3 tahun menjalin hubungan. Dia tak terlalu memusingkan untuk membahas nama. Pernah dua tiga kali aku membahas namanya. Semesta Wisnu. Nama yang sangat gagah. Siapa yang tidak ingin membahas nama yang sedemikian gagah? Setidaknya ingin mengetahui sebuah alasan mengapa nama itu dihadirkan. Dan yang masih aku ingat adalah saat pertama kali bertanya kepadanya.
“Semesta Wisnu, maksudnya semesta milik Wisnu?”
Dia menggeleng.
“Trus apa dong?”
“Aku tidak tahu. Aku juga tidak terlalu peduli. Toh aku tidak akan pernah bisa jadi Wisnu”
Dan aku sudah memanggilmu Wisnu.
“Memberi nama adalah kemampuan tertinggi manusia. Yang menyebabkan para malaikat disuruh bersujud karena mereka tidak bisa menamai sesuatu”
“Maksudmu, hanya dengan kemampuan itu kita bisa diatas malaikat”
Dia mengangguk tegas. Aku masih mencoba mencerna.
“Menamai, seperti memberikan label. Kita menyebut biru untuk sebuah cahaya yang mampir di mata kita dalam suhu yang tinggi. Biru adalah suhu terpanas dan tiba-tiba dalam benakku, biru adalah dingin. Itu akibat dari nama. Dan salah satu yang paling mengerikan adalah Tuhan terkubur dalam nama-nama yang entah apa maksudnya. Dengan menamai, Tuhan menyerah pada manusia. Dalam kitabku, Tuhan menyerah dan bilang, Aku sesuai persangkaan hambaku”
“persangkaan, bukan penamaan”
“apa yang kamu sangka tentang pramodya wardhani?”
Aku diam
“Ketika kita menyangka, kita sekaligus mencari sebuah nama. Seperti dari tadi aku mencoba menamai senja kita berdua ini, senja yang terganggu dengan nama-nama namun indahnya masih terasa. Mungkin bisa kunamai pramodya wardhani.”
Aku salah tingkah. Ya saat itu aku salah tingkah. Terlihat sekali kalau salah tingkah. Aku dan dia berbincang namun berdiri. Persis seperti keadaan saat ini bedanya saat itu aku salah tingkah karenanya, sekarang aku kecewa karenanya.