Mohon tunggu...
Nuraziz Widayanto
Nuraziz Widayanto Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis apa saja sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Daya-daya (9 dari 13)

2 Desember 2011   20:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:54 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tentang nama. Meski sudah 3 tahun menjalin hubungan. Dia tak terlalu memusingkan untuk membahas nama. Pernah dua tiga kali aku membahas namanya. Semesta Wisnu. Nama yang sangat gagah. Siapa yang tidak ingin membahas nama yang sedemikian gagah? Setidaknya ingin mengetahui sebuah alasan mengapa nama itu dihadirkan. Dan yang masih aku ingat adalah saat pertama kali bertanya kepadanya.

“Semesta Wisnu, maksudnya semesta milik Wisnu?”

Dia menggeleng.

“Trus apa dong?”
“Aku tidak tahu. Aku juga tidak terlalu peduli. Toh aku tidak akan pernah bisa jadi Wisnu”

Dan aku sudah memanggilmu Wisnu.

“Memberi nama adalah kemampuan tertinggi manusia. Yang menyebabkan para malaikat disuruh bersujud karena mereka tidak bisa menamai sesuatu”
“Maksudmu, hanya dengan kemampuan itu kita bisa diatas malaikat”

Dia mengangguk tegas. Aku masih mencoba mencerna.

“Menamai, seperti memberikan label. Kita menyebut biru untuk sebuah cahaya yang mampir di mata kita dalam suhu yang tinggi. Biru adalah suhu terpanas dan tiba-tiba dalam benakku, biru adalah dingin. Itu akibat dari nama. Dan salah satu yang paling mengerikan adalah Tuhan terkubur dalam nama-nama yang entah apa maksudnya. Dengan menamai, Tuhan menyerah pada manusia. Dalam kitabku, Tuhan menyerah dan bilang, Aku sesuai persangkaan hambaku”
“persangkaan, bukan penamaan”
“apa yang kamu sangka tentang pramodya wardhani?”

Aku diam

“Ketika kita menyangka, kita sekaligus mencari sebuah nama. Seperti dari tadi aku mencoba menamai senja kita berdua ini, senja yang terganggu dengan nama-nama namun indahnya masih terasa. Mungkin bisa kunamai pramodya wardhani.”

Aku salah tingkah. Ya saat itu aku salah tingkah. Terlihat sekali kalau salah tingkah. Aku dan dia berbincang namun berdiri. Persis seperti keadaan saat ini bedanya saat itu aku salah tingkah karenanya, sekarang aku kecewa karenanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun