Kosong persepsi. Keadaan dalam diriku yang tidak lagi bisa memberikan penafsiran apapun terhadapnya meski data-data ingatan tentang dirinya berserak dalam kepalaku. Aku tidak lagi mengerti tentangnya. Aku hanya mengerti, aku suka senyumnya saat ini, aku suka nada bicaranya saat ini dan aku suka tatapannya saat ini. Ingatanku tidak membantuku untuk menafsirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Tanpa penafsiran aku seperti tidak hidup sepenuhnya. Aku hanya bisa nyaman akibat syaraf-syaraf mata yang menangkap cahaya berbentuk senyumnya yang indah.
“Heidegger bilang hidup berarti memahami. Dan itu berarti menafsir. Segala pemahaman tentang hidup dimungkinkan karena kita “menafsir”. Tak ada hal dalam dunia manusia yang tanpa tafsiran.”
Detak jantungku berhenti. Persepsiku padanya yang tidak mau mengerti tentang semua bacaanku dan semua pikiranku, hilang. Juga persepsiku tentangnya yang hanya ingin ikut arus, terobsesi menjadi manusia modern, bergabung dengan peradaban tanpa prinsip sendiri, hilang. Dia bahkan seperti seorang cenayang yang sudah tahu isi pikiranku. Aku bertahan dengannya hanya bermodalkan ingatan, bahwa dia orang yang sangat baik dan tidak pernah bilang tidak ketika aku mintai bantuan, walau kecerewetannya pernah aku nilai berlebihan. Dan demikianlah, semua nilai-nilaiku untuknya hilang entah kemana. Aku tak lagi bisa membahasakannya.
“Theos. Begitu kamu bergumam. Untuk sesuatu yang tak terjelaskan.”
Aku mengangguk lemah. Aku tanpa daya di depan dayanya.
“Aku suka caramu menamai situasimu. Bahasa, kosa kata, pemberian nama pada setiap hal, adalah tafsir pada tingkat pertama.”
Aku diam seperti menghadap dosen filsafatku yang tak pernah bisa aku hentikan bicaranya. Dan hari ini aku seperti sedang berada di kelas filsafat. Kelas yang hanya untuk menjelaskan situasiku.
“Aku suka pada pandanganmu tentang bahasa. Aku menyetujuinya. Bahasa adalah cara berpikir yang khas, pola tafsir yang khas, cara manusia memahami dan membentuk ‘dunia’nya sendiri yang mempunyai keunikan masing-masing. Dan aku suka pandangan itu. Bahasamu berbeda dengan bahasaku”
Ya, ada banyak bahasa, ada banyak “Dunia”. Bahasa menentukan cara kita memahami sesuatu. Bahasa adalah lensa berwarna, bukan lensa bening netral atau pun cermin. Rasa benci atau sukaku pada hal-hal yang kujumpai tak pernah lepas dari caraku berbahasa. Dan dia, laki-lakiku, yang aku sangkakan tidak memahami ini, ternyata sangat memahami. Bahasaku, duniaku. Bahasanya, dunianya.
“Aku sangat ingin mempunyai bahasa yang sama denganmu. Aku setuju dengan cara pandangmu tapi aku tahu, kita berdua harus mengkreasi bahasa yang sanggup menyatukan kita. Perdebatan.”
Jadi? Selama ini dia hanya bersandiwara hanya untuk berbeda? “Theos” demikian gumamku.