Mohon tunggu...
Nuraziz Widayanto
Nuraziz Widayanto Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis apa saja sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Badai

16 Agustus 2010   14:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Deras. hujan ini sangat deras. rasanya belum pernah sederas ini hujan mengguyur desa mungil yang dilingkari sungai ini. Badai. hujan sangat deras yang bercampur badai. sungai yang masih biasanya tenang kali ini bereaksi seperti naga. Memacu segenap gelombang yang dia punya. dan jembatan tua ini paling menderita. satu-satunya jembatan penghubung ke desa tetangga harus bertahan dari gempuran air yang semakin besar. Jembatan kayu tua ini berderak-derak bertahan dan menggigil menghadapi hujan badai. jika tak badai, jembatan ini adalah tempat yang menyenangkan bagi para penduduk desa. dari jembatan ini banyak pemandangan indah yang bisa dilihat salah satunya matahari terbenam yang selalu indah. sudah banyak pasangan yang berhutang jasa romantis pada jembatan ini. tapi kali ini badai. tidak ada orang yang mau lewat. hanya ada satu orang yang berdiri di ujung jembatan. Bagus menggigil dengan mantel plastik murahnya. rahangnya bergeretak menahan dingin dan beberapa perasaan yang menggumpal di dada. ada yang dia tunggu sore ini. sore dengan hujan badai. berbeda dengan sore saat bertemu dengan Sumi kekasihnya. sore yang indah dan cerah.

"Nduk, aku mohon jangan pergi. lalu bagaimana simbok menghadapi kang parjo? bagaimana hutang simbok?"

Sumi berhenti bersiap. dia menatap ibunya lembut.

"Sumi hanya ingin pamit sama mas bagus mbok"
"Kang parjo akan tega untuk menyiksa simbok nduk. entah bagaimana caranya. hutang bapakmu sudah terlalu besar. rumah ini tak bernilai banyak, kamu bisa minta cerai kalau nanti tidak cocok, yang penting hutang kita bisa lunas."

Simbok seperti tidak mempedulikan ucapan Sumi. Simbok terus meracau tentang kang Parjo. Sumi juga tampak tidak peduli.

"Sumi pamit mbok. maafkan Sumi, cuma mas Bagus yang boleh menyentuh jiwa raga Sumi"

Suara Sumi tertelan deras hujan badai ini. dan beberapa detik kemudian tubuhnya sudah tertelan hujan. simbok tampak tidak peduli Sumi pergi. dan masih saja meracau tentang kang parjo. dia seperti tidak tahu Sumi telah pergi. sementara Sumi sudah berlari dalam hujan menuju jembatan tempat sebuah janji. senyum sumi terkembang ketika ujung jembatan terlihat samar-samar tertutup garis hujan. segera langkahnya dipercepat. senyumnya hilang ketika melihat jembatan sepi hanya riuh air hujan. jembatan itu kosong. tak ada siapapun. perlahan Sumi melangkah ke tengah jembatan. kali ini pikirannya sudah kosong. segala kisah indah jembatan ini ikut menghilang.

*Belajar FF, minjem ide cerita, judul, tokoh dari cerita badai punya suri ... boleh ya? hehehehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun