Mohon tunggu...
Nuraziz Widayanto
Nuraziz Widayanto Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis apa saja sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Daya-daya (11 dari 13)

7 Desember 2011   05:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku langsung mengiyakan. Kepalaku sudah terlanjur penuh dengan pertanyaan.

“Di angkringan belakang rumah baca ya mas”
“Sepuluh menit”
“Kabari saya jika sudah sampai”

Aku segera bergegas. Aku hanya akan bergegas untuk hal-hal yang aku anggap penting. Dan tulisan tentang percakapan itu adalah hal penting terutama tentang Semesta Wisnu. Apa yang diucapkannya dalam tulisan itu adalah apa yang aku ucapkan kala berbincang dengan kekasihku. Dan apa yang diucapkan pramodya wardhani adalah apa yang diucapkan oleh kekasihku yang pergi karena kekecewaan mendalam kepadaku. Dan semua percakapan itu tertuang dalam sebuah diary seorang Pramodya Wardhani. Aku tak kenal siapa dia, kecuali nama yang aku kenal sebagai istri seorang Rakai Pikatan, raja mataram kuno.

Aku sempat menebak-nebak bahwa Pramodya Wardhani adalah nama lain dari kekasihku yang telah pergi tapi segera aku tepis karena memang Pramodya Wardhani adalah orang yang benar-benar ada, setidaknya yang aku baca dari diary-nya.

Aku membiarkan rasa penasaranku memenuhi semua ruang perjalananku sampai ke angkringan di taman satu blok belakang Rumah Baca. Aku mencari-cari Nonik namun segera aku memaki kebodohanku, aku tak pernah melihat wajahnya, juga tidak janjian dengan referensi pakaian yang dia kenakan. Ah, segera aku mengambil Hp-ku namun sebelum dial nomor Nonik, seseorang menepukku dari belakang.

“Mas Johan?”

Aku berbalik dan seorang perempuan dengan wajah oriental, dengan rok panjang warna krem sudah tersenyum.

“Nonik?”

Dia mengangguk. Aku benar, Nonik bukanlah Kekasihku. Sekilas aku ingin bertanya, darimana dia tahu aku namun segera aku tepis karena diary coklat ini aku tenteng, Nonik pasti segera mengenaliku dari diary ini. Tanpa bicara nonik memberiku isyarat untuk mengikutinya. Kami menuju pojok taman yang sudah tergelar tikar. Disana ada seorang laki-laki. Kami bergabung duduk dengannya.

“Kenalkan, ini pacarku, Wisnu”

Aku tersenyum dalam penasaran. Aku segera mengulurkan tanganku yang segera dijabat dengan erat oleh Wisnu. Setelah memesan makanan dan sedikit basa-basi, Nonik langsung bertanya to the point.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun