Mohon tunggu...
Nuraziz Widayanto
Nuraziz Widayanto Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis apa saja sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siang Seribu Muadzin

22 Oktober 2011   05:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:39 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kota Seribu Muadzin!"

Aku terpekik sendiri manakala sesiang ini mendapati kota yang sedemikian ribut karena adzan. Aku muslim tapi aku sering tidak nyaman dengan suara adzan yang bersautan apalagi masjidnya berdekat-dekatan. aku segera keluar dari kamar hotel. tak ada salahnya menuruti panggilan seribut ini, demikian kataku dalam hati.

"Maaf masjid terdekat dimana ya?"

Aku bertanya pada penjaga yang sedang bersandar nikmat dengan rokok dan kopinya. dia hanya menunjuk dadanya.

"Maaf?"

Dia tersenyum dan sekali lagi menunjuk dadanya. aku merasa harus segera pergi, perasaanku tidak enak. Tanpa mengucap terima kasih aku pergi, tapi ada hal yang menahanku pergi, aku ingin memastikan pintu kamarku sudah terkunci rapat. Segera aku berbalik dan penjaga itu sudah hilang! tapi rokok dan kopi masih ada disitu ditambah satu hal, kembang! ah, mungkin benar kata temanku yang lulusan pondok, makin banyak umat belum tentu makin sedikit praktek mistis, bahkan mungkin malah semakin besar. belum sempat aku beranjak, penjaga itu datang lagi.

"Saya suka bunga mas"

sepertinya dia segera memahami situasi kerut keningku dan menjelaskan dengan penjelasan seadanya.

"Tapi kenapa pake daun pisang?"
"Lha kenapa enggak?"

Aku jadi bingung. iya ya, kenapa nggak boleh pake daun pisang?

"Saya memang suka bunga mas. istri saya penjual bunga buat ziarah, kaya gini ini. tadi ada tamu mo ziarah ke tempat almarhum kiai mantri, sudah saya bawakan, eh gak jadi"

Aku diam dan memang kesimpulanku memang seperti menguat tentang praktek-praktek mistis.

"Mas gak jadi ke masjid?"

aku langsung tersadar.

"Iya masjid dimana?"

Penjaga itu menunjuk dadanya, dan benar saja di kaosnya tersablon gambar masjid dan alamatnya. Aku tersenyum. aku sempat berfikir letak masjid adalah di hati masing-masing, ternyata se-harafiah itu.

"Saya sering keliru mas, harusnya nganan saya bilang ngiri. bukan apa-apa, buta arah. dari pada kaya gitu kalau pas pake kaos ini langsung saya tunjukan aja"
"Sudah cukup pak, saya tahu kok jalan itu, makasih ya pak"

Aku tersenyum sambil pamit. masih saja di kepalaku ruwet soal praktek-praktek beragama padahal buat orang-orang macam penjaga ini praktek agama, mistis atau tidak, iman atau belum, yang harus dipastikan lebih dulu adalah rokok dan kopi tersaji. sederhana yang masih rumit buatku.

****mari ngopi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun