Banyak dari masyarakat yang mungkin masih asing dengan kata “Modal Ventura”. Usaha ini baru diperkenalkan melalui Kebijaksanaan Paket Deregulasi tanggal 20 Desember 1988 yang diikuti dengan di keluarkannya Keppres No. 61 tahun 1988. Modal ventura merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu Venture Capital yang berarti sesuatu yang mengandung resiko. Oleh karena itu, modal ventura disebut juga risk capital. Modal ventura adalah suatu investasi dalam bentuk pembiayaan berupa penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta sebagai pasangan usaha (investee company) untuk jangka waktu tertentu. Pada umumnya investasi ini dilakukan dalam bentuk penyerahan modal secara tunai yang ditentukan dengan sejumlah saham pada perusahaan pasangan usaha. Investasi modal ventura ini biasanya memiliki suatu risiko yang tinggi namun memberikan imbal hasil yang tinggi pula.
Sedangkan modal ventura syari’ah adalah suatu pembiayaan dalam penyertaan modal dalam suatu perusahaan pasangan usaha yang ingin mengembangkan usahanya untuk jangka waktu tertentu (bersifat sementara). Perusahaan yang diberi modal sering disebut sebagai investee, sedangkan perusahaan pembiayaan yang memberi dana disebut sebagai venture capitalist atau pihak investor. Penghasilan modal ventura sama seperti penghasilan saham biasa, yaitu dari dividen (kalau dibagikan) dan dari apresiasi nilai saham dipegang (capital gain). Tujuan modal ventura adalah untuk memberikan penambahan nilai (adding value) sehingga venture capitalist dapat menjual partisipasinya dengan return positif.
Injazat (berpusat di UEA) adalah venture capital pertama yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah, dengan modal awal US$ 50 juta. Injazat didirikan bersama-sama oleh the Islamic Corporation for the Development of the Private Sector (ICD), afiliasi dari the Islamic Development Bank (IDB), dengan Gulf Finance House, Dubai Islamic Bank, Saudi Economic and Development Company dan Iran Foreign Investment Corporation. Sedangkan di Indonesia sendiri dipelopori oleh PT. Bahana Artha Ventura yang merupakan pemilik saham terbesar dan salah satu anak perusahaan dari PT.Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI).
Kejanggalan yang didapatkan pada praktik modal ventura syari’ah terdapat pada konsep perusahaan modal ventura syariah. Dalam teorinya, salah satu konsep tersebut menyebutkan bahwa jaminan dalam pembiayaan modal ventura tidak diperlukan, karena sifat pembiayaannya lebih condong ke sebuah bentuk investasi. Namun dalam praktiknya, modal ventura syari’ah memberlakukan jaminan berupa BPKB kepada investeenya. Adanya jaminan dalam pembiayaan syariah sebenarnya dibolehkan, karena sebagai wujud kepercayaan pemberi modal kepada peminjam modal. Namun dalam konteks ini, terjadi tidak sejalannya antara konsep dengan praktiknya.
Kemudian, ada kejanggalan kembali di dalam salah satu tujuannya yaitu mendirikan perusahaan baru dengan lebih mudah. Jika tujuan ini benar-benar diterapkan maka akan membantu meningkatkan ekonomi di Indonesia khususya bagi masyarakat yang berada di golongan menengah ke bawah. Namun sekali lagi disayangkan, dalam praktiknya mereka membuat kebijakan untuk penyertaan modal haruslah perusahaan yang berusaha dalam pasar yang sedang tumbuh dan bersifat inovatif serta mempunyai potensi untuk berkembang pada masa yang akan datang. Ini jelas sudah sangat tidak sejalan antara kebijakan yang diterapkan dengan praktik dilapangan. Hal ini yang awalnya baik untuk masyarakat menengah ke bawah menjadi hilang harapannya. Selain itu hal ini adalah suatu kegagalan pemerintah yang awalnya mengkonsep modal ventura syariah sebagai akses pembiayaan bagi usaha kecil, menengah dan kebawah.
Pada salah satu lembaga penyertaan modal ventura syariah, mereka membuat kebijakan bahwa penyertaan modal minimum sebesar Rp 50.000.000 dan disediakan tabel angsuran yaitu 12x, 18x, 24x dan 36x dengan jumlah cicilan yang berbeda-beda pada setiap angsurannya. Disana tidak dijelaskan bagaimana perhitungan dalam membayar angsuran, sehingga akan ada banyak asumsi bahwa riba akan terjadi disini. Prinsip “syari’ah” disini akan menjadi tidak sempurna apabila benar-benar terjadi riba karena tidak ada penjelasan mengenai perhitungan dalam membayar angsuran.
Selain itu praktik pada salah satu lembaga penyertaan modal ventura syari’ah ini menerapkan pelanggaran/denda untuk pasangan usahanya. Hal ini sudah sangat menyimpang sekali dalam prinsip syari’ah dan tidak jelas kemana dana dalam denda ini akan digunakan. Berbeda dengan bank syari’ah yang menggunakan dana denda sebagai dana kebajikan/sosial. Memang banyak perdebatan di antara ulama mengenai pengenaan denda. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Yang membolehkan antara lain berdalil dengan sabda Nabi SAW, ”Tindakan menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezaliman.” (HR Bukhari). Juga sabda Nabi SAW,“Tindakan orang mampu [menunda pembayaran utangnya] telah menghalalkan kehormatannya dan sanksi kepadanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa`i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim). Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini menjadi dalil jika orang yang mampu menunda pembayaran utangnya maka ia berhak mendapatkan hukuman, termasuk hukuman denda. Namun mereka menetapkan dua syarat. Pertama, denda ini tidak boleh disyaratkan di awal akad, untuk membedakannya dengan riba jahiliyah (riba nasi`ah). Kedua, denda ini hanya dikenakan bagi yang mampu, tak berlaku bagi yang miskin atau dalam kesulitan. (QS Al-Baqarah : 280). (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 337).
Sedang pihak yang mengharamkan berdalil denda semacam ini mirip dengan riba jahiliyah (riba nasi`ah), yaitu tambahan dari utang yang muncul karena faktor waktu/penundaan. Padahal justru riba inilah yang diharamkan saat Al-Qur`an turun (QS Al-Baqarah : 275). Maka apapun namanya, ia tetap riba, baik diambil dari orang yang mampu atau tidak, baik disyaratkan di awal akad atau tidak. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338).
Pendapat yang rajih adalah yang mengharamkan. Alasannya : Pertama, meski orang mampu yang menunda pembayaran utang layak dihukum, tapi tak pernah ada sepanjang sejarah Islam seorang pun qadhi (hakim) atau fuqaha yang menjatuhkan hukuman denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah ta’zir, yaitu ditahan (al-habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338; Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Hal itu karena sudah maklum bahwa pemberi utang hanya berhak atas sejumlah uang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Baik ia mendapatkannya tepat pada waktunya atau setelah terjadi penundaan. Tambahan berapa pun yang diambilnya sebagai kompensasi dari penundaan pembayaran tiada lain adalah riba yang diharamkan. (Ali As-Salus, ibid., hal. 449). Kedua , denda karena terlambat membayar utang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, 9/252).
Modal ventura syari’ah ini sebaiknya harus dirubah dalam hal praktiknya. Banyak sekali teori atau konsep yang bagus dalam modal ventura syari’ah jika benar-benar dipraktikkan di lapangan. Jika dibandingkan dengan bank syari’ah, modal ventura syari’ah lebih direkomendasikan sebagai lembaga penyertaan modal bagi masyarakat karena selain menyertakan modalnya, modal ventura syari’ah juga terjun langsung kedalam manajemen perusahaan pasangan usaha sehingga perusahaan dijamin akan lebih pesat kemajuan dan perkembangannya.