Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh,
Salam sehat dan sejahtera untuk kita semua.
Hai sobat kompasiana, tahukah kalian bahwa pendidikan karakter merupakan salah satu objek utama yang menjadi prioritas dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Contohnya saja, penerapan Kurikulum 2013 pada beberapa waktu lalu sangat menekankan pendidikan karakter atau perubahan perilaku bagi setiap individu dan bukan hanya berfokus pada aspek perkembangan kognitif para peserta didik.
Nah, hal ini dimaksudkan agar para peserta didik bisa menerapkan nilai-nilai moral yang terkandung didalam pendidikan karakter. Dengan demikian, para peserta didik dapat menerima, dan memahami ilmu pengetahuan dengan baik sehingga menjadi generasi yang cerdas dan berkarakter mulia. Sejalan dengan hal itu, ternyata pembentukan karakter pada diri peserta didik tidak bisa mengabaikan kondisi peserta didik itu sendiri sebagai tujuan pendidikan. Berbagai aspek psikologis yang mungkin berperan mewarnai siswa akan memberikan kontribusi yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dalam pengembangan karakter mereka. Satu diantaranya adalah aspek perkembangan moral dan sosial. Dan jika kita mampu memahami dimensi moral tersebut, hal itu akan membantu tercapainya tujuan kepribadian yang sesungguhnya.
Namun, ternyata masih banyak diantara kita terutama para tenaga pendidik yang belum memahami dengan baik terkait adanya konsep hubungan antara moral dan karakter. Pada umumnya, konsep pendidikan karakter sudah siap untuk dipraktikkan. Tentu saja selama tidak ada kendala dalam proses pendidikannya, hal ini tidak menjadi masalah. Namun, alangkah baiknya jika calon pengguna atau dalam hal ini adalah tenaga pendidik mengetahui dasar-dasar teori yang mendasari lahirnya konsep-konsep yang mereka gunakan sehingga dapat memahami dinamikanya. Terutama dari sudut pandang psikologis, dalam kerangka kerangka teori perkembangan perilaku yang diharapkan.
Sementara itu, ada tiga aspek utama yang harus diperhatikan sobat kompasiana dalam proses pendidikan karakter pada anak maupun peserta didik. Ketiga aspek ini adalah pengetahuan moral, perasaan moral, dan tingkah laku moral yang dimana ketiga aspek ini adalah kesatuan yang utuh dan berkelanjutan dalam perkembangan moral anak. Yuk, mari kita bahas satu per satu.
- Pengetahuan Moral. Tahapan pertama dalam pembentukan ataupun pendidikan karakter adalah tahapan pengetahuan moral yang juga biasa disebut dengan moral knowing. Pada tahapan ini, siswa diberikan pemahaman tentang enam unsur nilai-nilai, yaitu kesadaran moral, pengetahuan akan nilai-nilai moral, penentuan sudut pandang ataupun perspektif, keberanian menentukan sikap, dan yang terakhir adalah pengenalan diri. Perlu diketahui, bahwasanya tahapan pengetahuan moral ini sangatlah identik dengan aspek kognitif para siswa. Karena itulah, Allah Swt. menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa unsur pembeda antara manusia dengan makhluk-Nya yang lain terletak pada akal. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya, akal inilah yang menjadi sifat utama dari fitrah manusia dan merupakan kontributor terbesar yang menjadikan manusia sebagai makhluk-Nya yang paling mulia.
- Perasaan Moral. Selanjutnya adalah tahapan perasaan moral yang berfokus pada aspek emosional para siswa. Tahapan ini menyangkut tentang bentuk sikap dan tindakan yang dirasakan maupun yang diyakini para siswa. Dalam hal ini, yaitu kesadaran tentang jati diri mereka yang mencakup kepercayaan diri, kepekaan, cinta akan kebenaran, kemampuan untuk mengontrol diri sendiri, dan kerendahan hati. Nah, kelima aspek tersebut inilah yang nantinya akan terhimpun menjadi sebuah sikap yang pada akhirnya menjadi dasar munculnya perilaku dalam memberikan tanggapan terhadap segala bentuk dorongan dan motivasi yang datang dalam kehidupan siswa.
- Tingkah laku Moral. Ingatkah kita dengan hadits Rasulullah Saw. yang bermakna, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai tetangganya atau saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari, No. 13 dan Muslim, No. 45). Dari hadits tersebut, kita dapat menenukan suatu pengajaran yang baik, yaitu peduli dan senantiasa berbuat baik kepada sesama. Hal ini sejalan dengan konteks manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi antarsatu sama lain. Pencapaian keberhasilan manusia sebagai makhluk sosial dapat kita lihat dari aspek keberadaan setiap individu memberikan manfaat kepada individu lainnya. Dengan demikian, aspek inilah yang seharusnya mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, mulai dari orang tua, guru ataupun pendidik untuk bisa menanamkan nilai-nilai kepedulian terhadap orang lain pada anak.
Dengan mengetahui dan memahami karakteristik dari perkembangan moral pada anak tersebut, hal ini dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakter pada anak maupun siswa.
Berbicara tentang perkembangan moral, sobat kompasiana perlu mengetahui dengan jelas bahwasanya dalam ilmu psikologi, kita mengenal yang namanya teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg. Perkembangan moral sendiri memiliki definisi sebagai perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan seorang anak dalam kaitannya dengan tata cara, adat istiadat, ataupun nilai-nilai standar yang dianut dalam suatu kelompok sosial. Perlu diketahui sobat kompasiana, bahwasanya teori perkembangan moral Kohlberg ini merupakan teori pembaharu atau penyempurna dari teori perkembangan moral atau kognitif yang pernah dikemukakan oleh Jean Piaget.
Dalam teorinya, Jean Piaget mengklasifikasikan tahap perkembangan moral menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan moralitas heteronom yang terjadi pada anak usia 4-7 tahun, tahapan transisi yang terjadi pada anak usia 7-10 tahun, dan yang terakhir adalah tahapan moralitas autonom yang terjadi pada anak usia 10 tahun ke atas. Dalam penelitiaannya tersebut, Piaget pun menyatakan bahwa anak yang berusia di bawah 10 atau 11 tahun cenderung memikirkan tentang dilema atau masalah moral hanya dari satu cara ataupun satu perspektif. Sedangkan, anak-anak yang berusia di atas 10 atau 11 tahun cenderung berpikir dengan berbagai macam cara atau dari berbagai macam perspektif.
Selain itu, anak yang berusia muda melihat aturan itu sebagai sesuatu yang tetap dan tak dapat diubah. Mereka cenderung berpikir bahwasanya aturan itu adalah suatu produk orang tua dan Tuhan yang harus dipatuhi dan ditaati. Lain halnya dengan mereka yang berusia lebih tua. Anak-anak yang seperti ini cenderung memiliki pemahaman bahwa peraturan itu dapat diubah asalkan hal tersebut diperoleh berdasarkan hasil kesepakatan bersama.
Teori perkembangan moral Piaget kemudian dikembangkan oleh Kohlberg untuk mengklasifikasikan tahapan perkembangan moral dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Tahapan perkembangan moral kemudian berlanjut sampai usia 16 tahun. Oleh karena itu, banyak orang yang beranggapan bahwa remaja rentan memiliki masalah moral. Kohlberg kemudian melanjutkan untuk mewawancarai sekelompok remaja untuk menyelesaikan langkah-langkah yang telah disusun Piaget untuk temuannya. Untuk teori perkembangan moral Kohlberg terdiri atas tiga tingkatan yang kemudian setiap tingkatan tersebut dibagi lagi atas du tahapan. Tiga tingkatan yang dimaksud dalam teori Kohlberg ini adalah tahap prakonvensional, tahap konvensional, dan tahap pasca konvensional. Untuk mengetahui lebih lanjut, mari kita bahas satu per satu.
- Tahap pra konvensional. Pada tahap ini, anak sering berperilaku "baik" dan merespon label budaya benar dan salah. Tetapi, ia melihat semua label ini dalam bentuk fisik seperti hukuman, hadiah, kebaikan, ataupun paksaan. Pada tahapan inilah anak akan memfokuskan dirinya terhadap akibat atau konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dapat mereka rasakan sendiri. Misalnya, suatu tindakan dianggap salah secara moral jika orang yang melakukannya dihukum. Semakin berat hukumannya, semakin tidak adil kejahatannya. Biasanya tahapan ini dialami ketika anak berada pada rentang usia 4-10 tahun.
- Tahap konvensional. Selanjutnya adalah tahapan yang kedua, yaitu tahapan konvensional yang terjadi antara usia 10 dan 13 tahun. Terkadang tahapan ini juga disebut dengan istilah tahapan kecocokan. Tetapi, istilah itu mungkin terlalu sempit. Pada tahapan ini, anak-anak hanya tunduk pada harapan keluarga, kelompok, atau negara dan dipandang layak untuk diri mereka sendiri terlepas dari konsekuensi praktis langsung. Anak tidak hanya menyesuaikan diri dengan tatanan sosial mereka sendiri, tetapi juga berusaha untuk mempertahankan, menegakkan, dan melegitimasi tatanan sosial itu.
- Tahap pasca konvensional. Tahapan ketiga adalah tahapan pasca-konvensional yang terjadi setelah usia 13 tahun dan dicirikan oleh pengejaran yang kuat terhadap prinsip-prinsip moral yang otonom dan independen, dengan validitas dan penerapan yang terlepas dari otoritas kelompok atau individu yang mewakili mereka, dan terlepas juga dari kelompok atau individu yang memegang identifikasi individu dengan individu atau kelompok tersebut. Pada tahapan ini, ada upaya yang pasti untuk mengartikulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang valid dan dapat diterapkan secara mandiri dari otoritas kelompok atau individu yang menganut prinsip-prinsip tersebut. Tahapan ini juga disebut sebagai tahapan berprinsip dan pada tahapan ini setiap orang diharapkan memiliki pendapat, perspektif, dan nilai yang berbeda, dan penting agar mereka untuk dihormati dan dihargai tanpa adanya prasangka.