Mohon tunggu...
Nur Ansar
Nur Ansar Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja lepas

Sesekali jalan-jalan dan baca buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petani: Soal Tikus dan Keresahan Lainnya

5 Juli 2017   12:58 Diperbarui: 5 Juli 2017   13:01 1628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari Budi berkunjung ke sawah yang digarap oleh bapaknya. Suasananya sejuk. Hamparan padi yang sudah tumbuh dan mulai mengeluarkan malai terlihat indah. Hijau semua, sangat indah. Bukit-bukit di sebelah utara membentang, masih rimbun dengan pohon. Bukit itu menjadi batas dengan kampung sebelah.

Rumah-rumah sederhana yang dibangun oleh para petani sebagai tempat istirahat, masih berdiri kokoh. Kayu yang digunakan untuk membuatnya pun tidak banyak. Ukurannya sederhana, ada yang panjang dan lebarnya satu meter, adapun yang dua meter. Itu saja, tidak ada yang lebih besar dari itu. Atapnya tergantung dari pemiliknya, ada yang atap rumah-rumahnya dari seng, ada juga dari terpal dan ada juga yang masih menggunakan atap dari daun enau atau rumbia.

Tepat di samping rumah-rumah milik bapak Budi, ada pohon sirsak. Kalau berbuah tepat saat padi mulai mengeluarkan bulir bijinya secara rata, biasanya buah sirsak ini menjadi santapan untuk mengisi waktu saat menjaga padi dari burung pipit. Ah nikmat sekali rasanya menikmati buah sirsak segar di tengah hamparan padi.

Jika padi sudah mengeluarkan bulirnya secara rata, para petani akan berada di sawahnya hingga sore hari. Mereka menjaga padinya dari burung pipit. Penjagaan ini terus dilakukan hingga panen tiba. Budi pun sering menghabiskan waktunya di sawah. Nyaman saja katanya berada di sawah, apalagi jika sore hari. Suasananya sejuk dan tenang. Suara-suara burung sesekali terdengar. 

Saat Budi berkunjung ke sawah, cuaca mulai mendung. Dia berangkat siang hari. Sawah yang digarap oleh bapaknya, jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Hanya sekitaran lima ratus meter jaraknya. Jika berangkat ke sawah, kita melewati kebun yang dulunya merupakan sawah, hanya saja dialih fungsikan dengan ditanami cokelat. Ada juga yang ditanami cengkeh dan juga jagung serta kacang tanah.  Ada yang berhenti menanam padi karena memang air yang selalu digunakan untuk mengairi sawah sudah berkurang. Dan jika hujan tidak turun, maka padi akan mati.

Budi duduk di atas rumah-rumah, melihat sekeliling. Terlihat dua orang petani mencabuti rumput liar yang tumbuh di sawahnya. Tentu saja dua orang petani itu masing-masing mencabuti rumput liar di sawahnya masing-masing. Memang rumput liar yang tumbuh di sawah cukup banyak. Walaupun malai padi sudah keluar, masih saja petani sibuk mencabuti rumput liar.

Setelah dua orang petani tersebut mencabuti rumput liar, mereka pun beristirahat. Dua orang petani yaitu Jamal dan Samhadi berjalan menuju rumah-rumah milik Budi. Mereka memang biasanya saling bercerita untuk melepas lelah.

Sekarang saat terjadi anomali cuaca. Hujan menjadi tidak jelas kapan datangnya. Dikiranya sudah musim kemarau, tapi malah masih saja hujan. Hujan sering mengguyur hingga berhari-hari, kadang juga hujan di malam hari. Terkadang cuaca cerah hanya setengah hari.

Pernah juga musim kemarau lumayan panjang. Curah hujan sangat rendah. Air yang digunakan untuk mengairi sawah semakin kecil, bahkan kering. Padi yang sudah mau mengeluarkan malai pun banyak yang mati. Sebagai solusi,maka petani harus menyiram padinya dengan menggunakan air selang.

Sudah tiga musim padi petani terus diserang tikus. Menggerek hingga batang batang padi patah. Tikus-tikus menyerang di malam hari. Orang-orangan sawah sudah tidak mempan untuk membuat tikus takut. Membuat hamparan padi terlihat ada kubangan di tengah-tengahnya.

Musim tanam kali ini lebih parah. Semenjak padi selesai ditanam, hujan terus mengguyur, terkadang hanya sehari cuaca cerah, setelah itu hujan lagi. Yang semakin berkembang biak adalah wereng. Jadi, sambil tikus yang terus menggerek batang batang padi, wereng pun juga menyerang. Betul-betul musim yang meresahkan.

Semakin banyaknya tikus di sawah, membuat petani benar-benar resah. Bukan pertama kalinya tikus menyerang dengan memotong batang padi. Sudah tiga musim berturut-turut. Sebelum tiga musim ini, memang tikus biasa datang, tapi tidak separah kali ini. Bukan hanya padi yang mereka serang, tapi jagung pun demikian.

Jagung yang ditanam di pematang sawah, habis sebelum tumbuh. Yang di kebun, jagung yang sudah berbuah, buahnya banyak yang sudah dimakan tikus. Akhirnya hasil panen jagung pun menurun. Upaya sudah dilakukan. Salah satunya adalah dengan menggunakan umpan seperti dedak padi yang sudah dicampur racun. Dedak tersebut akan di taruh di lubang-lubang tikus dengan harapan, tikus memakan dan mati. Tapi lagi-lagi gagal, karena hujan yang mengguyur membuat dedak tersebut hanyut. Budi bercerita sambil menggerutu dan mencari rokoknya.

Jagung yang saya jadikan umpan, hanyut terbawa air. Padahal saya sudah mencampurnya dengan racun. Usaha tersebut gagal. Saya sedang mencari tahu cara yang lain. Tikus-tikus itu terus saja datang. Musim tanam yang lalu tidak terlalu parah seperti sekarang. Kalau yang lalu memang banyak biji padi yang tidak berisi karena cuaca yang tidak menentu, ditambah lagi dengan serangan wereng. Tapi sekarang malah lebih parah, karena hujan terus mengguyur, tikus datang,dan juga  hama lain.  Ujar Jamal saat istirahat setelah membersihkan rumput liar dan batang padi yang patah akibat tikus.

Padi banyak yang pertumbuhannya terhambat. Padahal sudah dua kali pupuk. Padinya kerdil seperti kekurangan gizi. Seolah padi tersebut menjadi kerdil karena tidak dialiri air, padahal hujan terus mengguyur. Gulma pun semakin banyak.

Kondisi tanah di sekitaran dataran tinggi memang bagus. Hanya saja jika musim kemarau dan sudah terlanjur kering, maka air tidak akan tergenang, tetapi langsung meresap ke dalam tanah. Tanah menjadi keras. Akibatnya, jika menanam padi di musim kemarau, petani biasanya menyiram padinya saat malam hari dengan menngunakan air dari selang yang ada disekitaran sawah.

 Musim kemarau tahun lalu misalnya, saat malam tiba, saya dan bapak saya akan berangkat lagi ke sawah untuk menyiram padi. Karena jika tidak disiram, maka padi akan mati. Air irigasi tidak mencukupi untuk mengaliri semua sawah. Airnya sangat kecil, walaupun waktu pengairan dilakukan secara bergilir, tetap saja air tidak dapat mengairi sawah secara merata. Apalagi jika tanahnya sudah retak, pasti air tidak dapat tergenang lagi di sawah. Makanya saya dan bapak saya harus menyiramnya jika malam hari. Budi lanjut bercerita.

Belum lagi harga bibit yang setiap tahun naik, pupuk pun demikian. Dalam satu kali tanam, padi dipupuk sebanyak dua kali. Terkadang juga tiga kali jika diperlukan. Dengan kondisi seperti ini, maka petani akan menambah ongkos produksi. Hama yang menyerang, maka diperlukan racun pembasmi. Terkadang membeli racun pun sedemikian rupa, tergantung hama tersebut. Apakah sudah tidak ada atau berkurang. Tapi jika sudah disemprot dan masih tidak mempan, maka akan disemprot lagi, tentunya dengan racun yang berbeda. Jamal pun sudah ikut menyambung apa yang dibicarakan Budi.

Harga padi yang jika musim panen tiba yang selalu murah, membuat petani makin resah. Padi sudah rusak, tidak banyak yang bijinya berisi. Semakin membuat petani kebingungan. Apalagi bagi petani penggarap. Yang hasil panennya harus dibagi dengan pemilik sawah. dialah yang paling resah.

Sekarang memang zaman yang membingungkan. Saya kira sekarang sudah musim kemarau, tapi malah masih hujan. Dulu penyakit padi tidak separah yang sekarang. Yang dulu walaupun padi tidak dipupuk, tetap akan tumbuh dan berbuah, kualitasnya juga bagus. Sekarang sudah beda. Tikus yang menyerang tidak separah sekarang. Padahal sekarang saya sudah menghabiskan banyak uang untuk ongkos merawat padi. Mulai dari bibit, pupuk, dan racun. Saya benar-benar pusing dibuatnya. Mana lagi uang yang saya gunakan adalah uang yang saya pinjam. Jadi jika panen kali ini padi banyak yang rusak, berarti saya akan kesusahan untuk membayar utang.  Samhadi bercerita saat mereka bertiga asik di rumah-rumah milik bapaknya Budi.

Tak lama kemudian, hujan mulai datang. Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka membereskan peralatannya, lalu berangakat. Belum jauh mereka berjalan, hujan sudah makin deras. Akhirnya mereka pulang dengan membawa keresahan terhadap tanamannya di sawah. Dan tentu saja di perjalanan mereka diguyur hujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun